Perempuan, sang martir untuk lingkungannya

20 April 2019 11:52 WIB
Perempuan, sang martir untuk lingkungannya
Sosok Asnir Umar (72), Bundo Kanduang Selayo Tanang Bukit Sileh Kanagarian Satu, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) yang memperjuangkan tanah mereka di Gunung Talang yang hendak dijadikan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) saat menghadiri temu nasional perempuan pejuang lingkungan hidup Walhi di Jakarta, Jumat (22/3/2019). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Menjelang Peringatan Hari Kartini pada 21 April, tak berlebihan disampaikan bahwa saatnya perempuan Indonesia bicara mengenai berbagai hal, meskipun masih ramai pembicaraan seputar Pemilu 2019.

Salah satunya mengenai peran perempuan dalam melestarikan lingkungan hidup.

"Perempuan itu sangat dekat dengan lingkungan, karena memang pada saat ini peran-peran yang dimainkan perempuan mengharuskan dia seperti itu," kata Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Nur Hidayati.

Karena pada saat ini memang di masyarakat Indonesia yang banyak berurusan dengan kehidupan domestik itu perempuan. Itu juga yang kemudian menyebabkan mereka sangat mengetahui dan memiliki kedekatan dengan lingkungan.

Apa yang terjadi di lingkungan, perubahan-perubahannya, perempuan yang lebih banyak mengetahui. Peran perempuan tidak hanya sebatas pada seremonial belaka, seperti  peringatan Hari Bumi, 22 April, misalnya.

Perempuan, lanjutnya, berperan penting sebagai agen perubahan yang memiliki kekuatan untuk menjaga kondisi lingkungan hidup.

Karena jika lingkungan hidup rusak, sumber air rusak, perempuan-perempuan di lokasi yang memang sudah krisis air akan semakin terkena dampaknya. Seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), mereka harus berjalan lebih jauh menuju sumber air, sedangkan mereka yang hidup di wilayah perkebunan, seperti di kebun kelapa sawit juga akan kesulitan memperoleh air mengingat sungai-sungai biasanya tercemar oleh pestisida serta limbah-limbah pabrik kelapa sawit, ujar aktivis lingkungan yang akrab disapa Yaya ini.

"Selama kami bekerja dengan masyarakat, perempuan paling paham kalau ditanya perubahan apa yang terjadi di lingkungannya. Bedanya apa dulu dengan sekarang, perempuan paling banyak mengetahui karena mereka bergelut sehari-hari di situ, dan dia tahu, oh debit airnya sudah tidak seperti dulu," lanjutnya.

Selain itu, perempuan lebih persisten untuk urusan tanah, mereka lebih punya pemikiran jangka panjang dibanding bapak-bapak, kata Yaya.

"Nanti anak saya mau diwarisi apa, nanti anak saya mau tinggal di mana. Dan biasanya kalau ada tawaran dari perusahaan mereka lebih tahan bujukan. Kalau bapak-bapak lebih pragmatis, lebih gampang dibujuk untuk hal-hal semacam itu," ujar dia.

Ini menjadi alasan mengapa sering kali perempuan lebih dulu maju untuk perjuangan-perjuangan lingkungan di berbagai daerah. Itu bisa dilihat pada perjuangan Nai Sinta boru Sibarani terhadap Inti Indorayon Utama di Porsea, Sumatera Utara, dan Mama Yosepha Alomang terhadap Freeport di Amungme, Papua, kata Yaya.

Karenanya kali ini Walhi ingin menempatkan perempuan bukan hanya sebagai korban tapi pihak yang sekaligus memiliki kekuatan melindungi lingkungan. Sehingga mempertemukan mereka agar mereka dapat saling berbagi pengalaman dan belajar yang pada akhirnya membangun solidaritas di antara mereka.


Martir lingkungan

Asnir Umar (72), Bundo Kanduang Selayo Tanang Bukit Sileh Kanagarian Satu, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar), menjadi martir untuk tanah mereka di Gunung Talang yang hendak dijadikan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

Ada 18 nagari di sana dan 17 di antaranya menolak pembangunan pembangkit listrik tersebut. Dan setiap kali pihak perusahaan hendak masuk ke Gunung Talang, Asnir sebagai Bundo Kanduang yang berada di depan menghadang, memimpin zikir ribuan warga dari 17 nagari dari pagi hingga malam.

Jika 27.000 hektare (ha) lahan di Gunung Talang yang selama ini menjadi ruang hidup mereka harus berganti dengan kawasan PLTP, mereka khawatir akan kehilangan lahan bertani yang selama ini menjadi sumber pendapatan mereka.

Asnir mengatakan di sana mereka menanam sayur-mayur, menghasilkan Rp25 juta hanya dari panen ubi jalar dari luas lahan kurang dari setengah hektare dalam tiga bulan saja. Padahal, tidak hanya ubi jalar, mereka biasanya juga menanam cabai, kubis, tomat, bawang, wortel, kentang.

"Bukannya tidak setuju pembangunan, tapi hidup kami sudah cukup, dari sini kami sudah berangkat naik haji. Jadi sudah cukup, kami tidak menginginkan lainnya," kata Asnir.

Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini mengatakan mediasi pernah dilakukan pada 14 Maret 2018. Hadir Wakapolda Sumbar, perwakilan Kementerian ESDM, dua kelompok warga dengan berpendirian berbeda, DPRD yang juga menghadirkan dua ahli panas bumi dari Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Para ahli, menurut Uslaini, memang menjelaskan hal-hal baik dari panas bumi yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Namun kemudian mereka menyebutkan tingkat keberhasilan penggarapan potensi panas bumi mencapai 40 persen, sehingga jika ada 10 lubang yang dibor untuk mencari lokasi pas pembangkit kemungkinan hanya empat saja yang akan terpakai.

Masyarakat di Selayo Tanang Bukit Sileh Kanagarian Satu, lanjutnya, sangat khawatir jika kejadian di Rimbo Panti terulang di tempatnya. Mereka mengebor potensi panas bumi hingga di kedalaman 700 meter, namun sampai di kedalaman 400 meter mata bor patah dan membuat air panas dalam perut bumi mengalir ke mana-mana termasuk menerjang pertanian mereka sehingga tanaman mati.

Mediasi yang dilakukan sebenarnya ada hasilnya, DPRD meminta perusahaan melakukan sosialisasi sampai masyarakat paham dan tidak demo lagi. Tapi kehadiran pihak perusahaan untuk mengecek lapangan lagi membuat masyarakat kembali resah, ujar Uslaini.

Tim Komnas HAM sempat ikut terlibat, Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM juga pernah hadir namun tetap tidak tercapai kesepakatan dan masyarakat tetap pada posisi minta pencabutan izin kelola lahan. Masyarakat 17 nagari juga meminta valuasi ekonomi Gunung Talang, serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) proyek PLTPb tersebut dari Kabupaten Solok.

Perempuan yang juga menjadi martir bagi lingkungannya sejak era 1990-an adalah Mama Aleta Baun (53) yang berdiri membela hak tanah masyarakat adat Suku Molo di Nusa Tenggara Timur (NTT) dari perusahaan tambang marmer. Kegiatan ekstraksi tersebut memicu penggundulan hutan (deforestasi) yang berdampak pada terjadinya tanah longsor dan meracuni sungai yang menjadi sumber pangan masyarakat.

"Kami menolak empat lokasi tambang di NTT. Penolakan bupati atas aksi penolakan tambang oleh masyarakat yang dipikirkan pasti menyejahterakan rakyat. Tapi bagaimana jika tidak punya tanah? Sekalipun ada yang punya supermarket tapi pasokan sayur, beras dan lain-lain mau dari mana?" tanya Mama Aleta.

Proses perjuangan untuk menutup empat tambang marmer tersebut, menurut dia, berjalan panjang dari 1999 hingga akhirnya ditutup semuanya 2010. Mereka harus berhadapan dengan perusahaan dan negara yang memberikan izin tambang.

Butuh kebersamaan atau kelompok, butuh pengorganisasian untuk menjangkau masyarakat dan itu tidak mudah sekarang ini. Jika ingin berjuang untuk lingkungan maka ia mengatakan pengorganisasian itu penting.

"Di Kupang kita menyebutnya Kile-kile," kata Mama Aleta.

Pengorganisasian itu membutuhkan waktu lama, tidak bisa hari ini dilakukan aksinya besok hilang, itu tidak kuat, lanjutnya. Dalam perjuangannya mereka harus melewati delapan bulan penjara, pukulan di muka pengadilan, pembacokan di tengah jalan, melayangkan gugatan ke bupati, mendapat kata-kata kurang baik sebagai perempuan mulai dari pelacur, diancam dipenjarakan, anak-anak tidak bisa bersekolah ke kota, berpisah dengan anak dan suami berbulan-bulan saat berjuang di lapangan.

"Karena pilihan itu antara hidup bersama keluarga dan masyarakat, dan saya memilih masyarakat dan berjuang melawan tambang. Pada akhirnya kita bisa tutup empat tambang, rakyat bisa kembali mendapatkan tanah adatnya seluas 16.000 hektare," lanjutnya.

Kegiatan temu nasional perempuan pejuang lingkungan dilaksanakan Walhi di Jakrarta, Jumat (22/3/2019). (ANTARA/Virna P Setyorini)

 

Legislatif dan eksekutif

Di akhir perlawanan itu masyarakat sepakat mendukung Mama Aleta menjadi legislatif di DPRD Provinsi NTT. Dirinya lantas memilih salah satu partai politik dengan bendera berlatar belakang hijau, meski saat itu belum banyak anggota partai yang dipilihnya paham soal lingkungan.

"Tapi keyakinan roh yang saya bawa bisa mempengaruhi mereka untuk 'hijau'," ujar Mama Aleta.

Sebanyak 250 kelompok masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan memberinya suara. Dukungan dana kampanye Rp20 juta yang saat itu terkumpul dari partai dan masyarakat digunakannya justru untuk membangun jembatan sehingga anak-anak sekolah tidak perlu berbasah-basahan menyeberangi sungai.

"Saya tidak pakai uang kampanye, karena budaya di sana pakai siri pinang," ujar ia.

Maka tidak ada oligopoli dari buntut perolehan kursi. Langkah di legislatif menjadi lebih ringan.

Namun demikian ketika sudah menjadi perwakilan suara rakyat di DPRD Mama Aleta juga tetap menemui kendala. Bagaimana satu orang dengan pemikiran "hijau" akhirnya dihantam oleh 65 orang lainnya, sehingga kenyataannya tidak mudah membawa aspirasi rakyat di dewan.

"Kalau kita tidak punya pengaruh apa-apa atau tidak duduk sebagai Ketua DPR, Ketua Komisi, Ketua Badan Legislasi atau Ketua Fraksi. Kalau hanya jadi anggota ya biasa-biasa saja, karena di sana banyak kepentingan," ujar Mama Aleta.

Pada akhirnya untuk menyelamatkan lingkungan dirinya mendirikan yayasan dan menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat untuk kemudian bekerja sama dengan Forum DAS menghijaukan wilayahnya. Ini karena DPR/DPRD tidak bisa mengelola program langsung.

Mama Aleta mengatakan sulit untuk memasukkan isu lingkungan di DPRD, sehingga perlu di bawa ke tingkat pusat. Itu juga yang menjadi alasannya untuk maju berlaga memperebutkan kursi di Senayan dalam Pemilihan Legislatif 2019.

Perempuan lain yang berkomitmen terhadap lingkungan adalah Faida yang kini menjabat sebagai Bupati Jember. Langkah koreksi yang dilakukannya adalah memperbaiki Rencana Tata Ruang Rencana Tata Wilayah (RTRW), memastikan tidak ada eksploitasi tambang di kabupaten yang terkenal dengan lambang tembakaunya.

"Lambang Jember ini tembakau jadi tidak mungkin tambang. Tapi ada peraturan yang menyalahi sehingga daerah menjadi korban," lanjutnya.

Ia menyerukan agar jangan memilih anggota dewan yang tidak menolak tambang. Dan jika perempuan ingin selamat maka harus ada wakil di legislatif, tanpa itu akan susah.

"Saya merasakan dalam politik kalau tidak pro lingkungan ya perempuan akan sulit. Ada juga calon anggota dewan yang didukung pengusaha tambang, akhirnya susah sendiri," ujar Faida.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup mengatakan peran mereka yang ada di luar legislatif jika memang sudah mengetahui memiliki "orang baik" di sana maka harus dijaga. Isu lingkungan yang menjadi perhatian harus tetap muncul di publik untuk membantu mereka tetap dapat bersuara di dalam gedung dewan.

"Kalau tidak (keberadaan mereka di DPR/DPRD) tidak ada leverage (pengaruh). Asistensi yang sudah ada di alam kita informasikan pada mereka, agar mereka yang segelintir bisa menghadapi mainstream. Itu tugas kita, jika kita sudah percaya mereka, jika tidak mereka bisa tersingkir," lanjutnya.

Yaya mengatakan mempersoalkan sistem Pemilu perlu juga dilakukan karena saat ini memang tidak sempurna, sehingga perlu dilakukan perubahan agar lebih baik. Sistem Pemilu saat ini sangat didominasi partai besar yang menutup ruang lebih besar untuk yang kecil, karenanya yang sudah ada pelan-pelan harus diubah sehingga bisa memberikan hasil maksimal, tidak hanya pasrah.

Baca juga: Walhi rilis 131 nama calon legislatif peduli lingkungan

Baca juga: Pesan untuk perempuan dari aktivis Farwiza Farhan

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019