Sepanjang menjadi relawan, hal yang paling membekas di ingatan Suprapti (45) adalah hari di mana dia terlibat langsung dalam proses identifikasi jenazah korban bencana alam.
Perempuan kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, tersebut masih mengingat betul, suatu pagi di bulan Desember 2014 dia dan rekan-rekan relawan Dompet Dhuafa baru saja selesai mengikuti apel pagi di posko induk evakuasi. Saat itu baru saja terjadi bencana tanah longsor di Dusun Jemblung, Karangkobar, Banjarnegara.
"Ketika saya sedang berdiri di dekat posko tiba-tiba diserahi tugas untuk mengidentifikasi jenazah. Sempat keder memang, wong seumur-umur saya belum pernah berhadapan langsung dengan jenazah korban bencana," katanya.
Penugasan mendadak itu sempat membuatnya sedikit cemas dan gugup. Kegelisahan menyelimuti fikirannya pada saat itu. Lantas dia memaksa dirinya untuk berfikir jernih dan melawan segala kecemasan. Sehingga akhirnya, dia memberanikan diri untuk terjun langsung dan ikut serta mengidentifikasi satu demi satu jenazah yang ditemukan oleh tim evakuasi.
Baca juga: Perempuan, sang martir untuk lingkungannya
Kala itu, dia tidak sendiri, dengan bantuan perangkat desa setempat, juga saudara-saudara korban yang berdatangan, maka sebagian dari korban bisa dengan cepat diidentifikasi.
"Ada juga yang dengan mudah diidentifikasi dari identitas yang ditemukan bersamaan dengan jenazah. Namun, ada juga yang sulit diidentifikasi. Kesulitan timbul jika jenazah tidak ada yang mengenali dan tidak ada identitas lain yang menyertai," katanya.
Menit demi menit yang dia habiskan untuk mengindentifikasi jenazah pada waktu itu menyatu dengan pengalaman-pengalaman lain yang dia dapat di lokasi-lokasi bencana.
Semuanya menjadi gelombang kenangan yang menyadarkannya, bahwa ada hikmah dari segala peristiwa yang dia lewati. Berbagai pengalaman tersebut, telah membentuknya menjadi perempuan yang makin tangguh dalam menghadapi tantangan.
Baca juga: Memulihkan ekonomi perempuan pascabencana Sulteng
Segala bentuk emosi, kesedihan, dan kerapuhan, yang dia temukan di lokasi bencana telah menguatkannya.
"Saya pernah merasa drop dan ikut sedih karena terus menerus mendengarkan kisah dari para pengungsi. Lalu lama kelamaan saya berpikir kalau saya sedih terus dan jadi sakit malah jadi tidak bisa bantu mereka," katanya.
Sejak bergabung dengan Relawan Disaster Management Centre (DMC) Dompet Dhuafa pada Tahun 2010, Suprapti memang sudah "kenyang" pengalaman di lokasi bencana.
Mulai dari bermain bersama anak-anak pengungsi, berperan dalam penyaluran air bersih untuk warga terdampak bencana, hingga memotivasi pengungsi agar tidak trauma terhadap bencana juga pernah dia lakoni.
Tidak dipungkiri, ada berbagai hal yang perlu dikorbankan untuk melaksanakan misi kemanusiaannya. Misalkan sebagai seorang ibu, dia pernah terburu-buru menuju lokasi bencana dan meninggalkan anaknya di rumah.
Bahkan, di perjalanan menuju lokasi bencana dia baru menyadari, tidak meninggalkan uang saku dan bekal makanan yang cukup untuk anaknya. Namun lagi-lagi, misi kemanusiaan memanggilnya dan dia pantang untuk mundur.
Menurut dia, apa-apa yang dia korbankan belum sebanding dengan penderitaan para korban bencana. Lagi pula, dia percaya bahwa hal-hal baik yang dia tabur akan membawa kebaikan-kebaikan pula pada masa-masa yang akan datang.
Tim Kesehatan
Pengalaman berharga terkait kejadian bencana juga dirasakan oleh Widhi Hesty Pujianti, asisten apoteker pengelola obat di Puskesmas Kalibening, Kabupaten Banjarnegara.
Pada April 2018 lalu, bencana gempa bumi mengguncang wilayah Kalibening dan merusak ratusan bangunan rumah di wilayah setempat.
Pascakejadian tersebut Puskesmas Kalibening langsung siaga memberikan layanan kesehatan 24 jam bagi masyarakat.
"Setelah kejadian gempa saya mendapatkan tugas untuk menyalurkan obat dan memastikan kebutuhan obat bagi para pengungsi tercukupi, saya juga berkoordinasi dengan tim BPBD dan relawan," katanya.
Selain itu, dirinya bersama tim lainnya juga sibuk mengevakuasi ibu hamil ke posko pengungsian yang lebih aman. Dirinya juga berkeliling dari satu tenda ke tenda lainnya guna memastikan ketersediaan obat bagi para pengungsi dan warga yang terdampak bencana.
Kendati lelah, namun pengalaman tersebut membuatnya bersemangat karena dapat membantu sesama yang menjadi korban bencana.
Perempuan perlu bermimpi
Cerita tentang bencana juga dirasakan oleh seismologis dari Stasiun Geofisika Banjarnegara Nurvita fatmasari. Ketika terjadi gempa di Yogyakarta Tahun 2006, dia langsung berangan-angan untuk lebih mengenal tentang gempa bumi dan menjadi seorang seismologis. Terlebih lagi dia sangat suka tentang ilmu geofisika.
Mimpi itu kini membawanya menjadi salah satu seismologis di Stasiun Geofisika Banjarnegara (BMKG Banjarnegara).
Baca juga: Khofifah : banyak perempuan hebat jarang bersuara tapi penuh karya
Baca juga: Pemberdayaan perempuan harus ditingkatkan
Dia juga masih mengingat dengan jelas, kejadian getaran tanah di Banjarnegara Tahun 2016 lalu, dirinya ikut berpartisipasi dalam pemantauan perkembangan kejadian.
Menurut dia, melakukan pengamatan terhadap getaran tanah tidaklah mudah dan membutuhkan kejelian.
"Misalkan saat kejadian getaran tanah di Desa Clapar, ketika dicek di seismograf tidak ada perubahan signifikan di rekaman gelombangnya, lalu dilakukan filter untuk menghilangkan noise atau gelombang gangguan yang ikut terekam di alat. Setelah di lakukan filter gelombang gangguan akan hilang tinggal tersisa getaran tanah yang sebenarnya," katanya.
Baca juga: Kartini di tengah arus feminisme
Gelombang gangguan biasanya berasal dari kendaraan, aktivitas warga, angin kencang dan lain sebagainya. Setelah gelombang getarannya terlihat jelas baru dilakukan analisis untuk didapatkan parameter seperti waktu terjadinya, lokasi, dan kekuatan getaran.
Menjadi seismologis memang bukan perkara mudah, dia dituntut untuk tidak takut terhadap gempa atau bencana tanah bergerak. Dia harus tetap bertahan di tempat dan melakukan tugasnya dengan baik. Namun, sebagai perempuan dia merasa sangat bangga bisa melakukan hal tersebut dan mengabdikan diri untuk keselamatan orang banyak.
Dia percaya, semua hal yang dia alami sekarang adalah buah dari mimpi, karena menurutnya mimpi adalah awal dari kenyataan. "Perempuan menjadi seismologis? Kenapa tidak?" katanya.
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019