Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut perempuan lebih rentan menghadapi perubahan iklim, karena kerusakan alam memberikan tambahan beban bagi perempuan misalnya ketika menghadapi dampak bencana alam.
Di tengah situasi yang sulit itu perempuan tetap harus menjaga kelangsungan hidup diri sendiri dan keluarga, seperti dalam menyajikan makanan, minuman, tempat tinggal dan akses air bersih.
Kerentanan semakin tinggi pada mereka yang hidup di perdesaan dan mengandalkan sumber-sumber alam setempat apalagi yang semakin sulit di dapat akibat kerusakan alam.
Dalam banyak publikasi PBB disebutkan bahwa ibu rumah tangga dan remaja putri menghadapi tantangan berat karena kesibukan peran domestik yang membuat perempuan tidak memiliki waktu untuk mengenyam pendidikan dan menjaga kesehatan, misalnya seperti pada laporan berikut: http://www.unep.org/ourplanet/imgversn/152/images/Our_Planet_15.2.pdf
Kartini ke Greta
Usianya baru 15 tahun, Greta Ernman Thurnberg, gadis remaja asal Swedia ini mengguncang perhatian dunia ketika melakukan aksi mogok di depan parlemen di negaranya untuk menuntut perhatian pemerintah dan politisi agar lebih giat menangani ancaman perubahan iklim.
Greta, perempuan belia yang mempunyai pemikiran jauh ke depan dalam cakrawala yang luas, dia cemas akan masa depan bumi dan manusia, dan gerakannya menjalar ke kota-kota besar Eropa.
Pemikirannya bisa mengingatkan perempuan Indonesia akan salah seorang perempuan “guru bangsa” yaitu RA. Kartini yang kelahirannya diperingati sebagai lambang gerakan kaum perempuan di Tanah Air setiap 21 April.
Memaknai gerakan Kartini, saat ini tidak cukup hanya dengan memandangnya sebagai perintis perbaikan harkat perempuan seperti slogan dalam judul buku kumpulan suratnya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, namun bagaimana perempuan Indonesia sekarang mampu menjawab tantangan sesuai zamannya.
Di kota-kota besar, perempuan Indonesia sebagian besar sudah berpendidikan layak, mampu meniti karir setara dengan rekan laki-lakinya dan nyaris tidak ada “jurang” pemisah gaji antara laki-laki dan perempuan untuk jenis pekerjaan dan kedudukan yang sama. Keadaan ini merupakan kemajuan dibanding di beberapa negara maju yang masih menerapkan perbedaan gaji berdasar gender.
Tetapi situasi itu tidak serta-merta bisa menghapus fakta, masih banyak perempuan Indonesia di pelosok yang belum melek aksara, situasi yang sama dengan masa ketika Kartini mulai mengajar. Mereka bukan terhalang oleh aturan pemerintah penjajah, melainkan terkungkung oleh keterasingan dan kemiskinannya.
Dalam banyak budaya di dunia, bumi dipersonifikasi sebagai perempuan, ibu yang memberi kehidupan, memberi makanan dan tempat berlindung.
Perempuan dituntut harus sanggup menghadapi tantangan untuk menjalankan perannya, oleh sebab itu di banyak tempat banyak ditemukan contoh-contoh sikap perempuan yang memberikan gerakan “perlawanan” sebagai jawaban atas halangan yang mereka hadapi.
Gerakan “para pemeluk pohon” pada 1730 oleh penduduk Jodphur, India, dilakukan untuk menentang para penebang pohon suruhan Maharaja yang dipimpin Amritha Devi –yang memeluk pohon dengan risiko bisa ikut ditebang, meluluhkan hati Maharaja yang akhirnya berbalik melarang penebangan pohon.
Aksi Chipko Andolan itu berulang pada pertengahan 1970-an di wilayah Gharwal India, ketika para perempuan setempat memeluk pohon-pohon yang ditandai untuk ditebang demi kepentingan pasar, namun tidak memberi keuntungan warga setempat, melainkan dikhawatirkan merusak alam.
Mengendalikan plastik
Akhir-akhir ini perang terhadap sampah plastik gencar dilakukan di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Keberadaan sampah plastik dan benda-benda tak terurai di alam sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Indonesia merupakan salah satu dari lima negara di Asia yaitu China, Filipina, Vietnam dan Thailand yang ditengarai menghasilkan 60 persen limbah plastik di lautan seperti laporan dari Lembaga Ocean Conservancy and the McKinsey Center for Business and Environment tahun 2015.
Pada November lalu, seekor paus koteklema atau paus kepala kotak (Sperm Whale) ditemukan terdampar mati dan di dalam perutnya didapati sampah plastik berupa botol, gelas minuman, pecahan berbagai plastik dan tali rafia yang tidak dapat dicernanya.
Jumlah sampah di perut mahluk tersebut sebanyak 5,9 kilogram, seperti yang disebutkan dalam cuitan Twitter WWF-Indonesia.
Mamalia raksasa yang mati terdampar dengan perut penuh plastic semakin sering ditemukan antara lain di Thailand dan Italia, demikian pula jutaan burung yang mati karena menelan plastik.
Plastik sudah menjadi gaya hidup karena bentuk dan manfaatnya yang luwes menggantikan logam, daun, gelas, tempurung buah-buahan seperti kelapa dan labu. Selain mudah dipakai, plastik bisa digunakan berulang-kali.
Sayangnya, setelah tidak terpakai plastik akan dibuang dan tinggal tetap tidak terurai seperti sampah organik dan menjadi ancaman sebagai salah satu agen perusak alam yang cukup serius.
Pemakaian plastik semakin meluas, dan manusia menjadi terbiasa dengannya, kerusakan alam mulai mengintai, timbunan sampahnya di tanah tidak dapat mengurainya, menyumbat selokan dan menyebabkan banjir, di lautan sampah plastik mematikan banyak biota laut.
Manakala terjadi kerusakan alam atau bencana alam, perempuan tak pelak ikut menanggung beban yang tidak ringan bahkan dalam banyak kasus, perempuan menanggung beban yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki.
Tidak ada urusan antara gender dan sampah karena laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi penghasil sampah, namun urusan sampah kebanyakan dikaitkan dengan peran perempuan. Apalagi berbagai limbah plastik tersebut merupakan limbah perlengkapan dapur dan alat makan-minum.
Mengapa perempuan? Sebab ibu rumah tangga menduduki posisi penting dalam menentukan keputusan untuk memilih perlengkapan dan peralatan aktivitas sehari-hari dari dapur, kamar mandir, kamar tidur hingga halaman rumah.
Pada era media sosial, gaya hidup yang “ngetrend” dengan mudah menyebar dan diikuti, misalnya ketika kota-kota besar melarang pemakaian kantong belanja plastik, maka merebak mode kantong belanja kain, demikian pula sedotan logam semakin popular di kalangan anak muda yang gemar nongkrong di kafe-kafe.
Kaum perempuan dapat mengambil peran dalam menampilkan gaya hidup yang bijak dan ramah lingkungan, bukan saja soal plastik, tetapi bisa menerapkan gaya hidup yang sehat, sambil menjaga sumber daya alam sebagai sumber kehidupannya.
Ekofeminisme
Relasi antara alam dan feminism sangat kuat, dan saling terkait seperti teori yang dicetuskan oleh Vandana Shiva, pegiat lingkungan asal India tentang ekofeminisme yaitu bahwa kerusakan alam dapat berlanjut pada pemiskinan dan penderitaan yang bisa membuat perempuan lebih menderita.
Situasi seperti ini dengan mudah dilihat pada perdesaan di negara-negara yang sedang berkembang misalnya ketika sumber air mati karena kerusakan alam (alamiah atau dampak perbuatan manusia) perempuan lah yang memikul beban berat harus berjalan jauh untuk mencari air.
Perempuan penyintas bencana alam di tempat pengungsian, tetap dituntut berperan melanjutkan peran sebagai “ibu rumah tangga” untuk menyediakan makanan, minuman, mencuci pakaian di tengah keterbatasan dukungan alam dan fasilitas lainnya.
Kartini adalah pembuka jalan bagi kaum perempuan di Indonesia untuk mencapai kesadaran diri bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk berkembang tanpa batas dan hambatan gender.
Memaknai perjuangan Kartini bisa diartikan secara luas bukan sekedar menjadi “melek aksara” tetapi juga membuka diri terhadap setiap kesempatan yang tersedia di sekitar, menjadi pelindung dan penjaga alam melalui gaya hidup yang ramah lingkungan.*
Baca juga: Waket DPRD Merauke akui emansipasi di Papua terus meningkat
Baca juga: Memaknai peran perempuan sebagai tiang negara
Pewarta: Maria Dian A
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019