Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, di Jakarta, Selasa mengatakan, Sri Mulyani sukses mereformasi perpajakan. Selain amnesti pajak, juga sukses melakukan penyederhanaan administrasi.
"Yang sudah diimplementasikan meliputi NPWP NIK, mempercepat prosedur restitusi, memperpendek sengketa pajak dan dokumen-dokumen pajak disederhanakan, termasuk penyederhanaan administrasi," kata Yustinus.
Ia menjelaskan, saat ini, ada pabrikan rokok skala besar berpenghasilan triliunan yang membayar tarif cukai rendah.
Padahal, kemampuan gabungan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin melebihi 3 miliar batang per tahun.
"Intinya (penggabungan) batasan produksi ini untuk pengendalian. Jadi harus ada komposisi yang antara perusahaan besar dengan yang besar dan yang kecil dengan yang kecil," jelasnya.
Sebelumnya, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan penggabungan batasan produksi pada 2017 melalui Peraturan Menteri Keuangan 146/2017.
Dengan adanya kebijakan ini, pabrikan besar asing yang produksi gabungannya sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) melebihi 3 miliar batang per tahun harus membayar cukai tertinggi di kedua segmen itu. Namun, kebijakan ini ditunda pada tahun lalu.
Sementara itu, Ekonom Institute For Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berharap pemerintah tetap melanjutkan rencana penggabungan batasan produksi.
Kebijakan ini diperkirakan dapat mengoptimalisasi penerimaan negara dan kebijakan cukai.
"Ini diharapkan dapat menutup potensi penghindaran cukai dan mengoptimalisasi penerimaan cukai," ujar Bhima.
Baca juga: Pemerintah dapat Rp105 miliar dari cukai rokok elektronik
Baca juga: YLKI: cukai rokok tidak naik tahun 2018-2019 suatu kemunduran
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019