"Anak-anak ini memang melakukan kesalahan, tetapi mereka juga adalah korban. Korban dari teknologi dan pengawasan orang tua dan lingkungan yang rendah," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Nahar mengatakan pemerintah, pusat dan daerah, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang menjadi korban penyimpangan seksual di Garut sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Nahar, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten garut agar kasus tersebut dikawal dengan baik.
"Kami mengapresiasi langkah cepat yang dilakukan kepolisian, dinas dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Garut," tuturnya.
Nahar berharap kasus tersebut dikawal dan semua orang harus terlibat dalam upaya pemulihan kondisi psikologis anak korban dan anak pelaku.
Anak korban maupun anak pelaku harus mendapatkan penanganan psikologis yang tepat. Berdasarkan informasi dari para psikolog yang menangani mereka, beberapa pelaku pernah menjadi korban pelecehan dan saat usia anak sudah terpapar dengan video porno.
"Kita memiliki pekerjaan rumah besar untuk mencegah anak-anak ini mendapatkan stigma dari masyarakat yang mungkin akan memperburuk kondisi psikologis mereka. Kementerian akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas," katanya.
Kasus penyimpangan seksual di Kabupaten Garut, berawal dari salah satu orang tua korban dan tokoh masyarakat yang melapor ke Polres Garut.
Polres Garut menyatakan pelaku berjumlah 19 orang dengan rentang usia delapan tahun hingga 13 tahun dan berkembang menjadi 32 orang.
Baca juga: KPPPA: Perempuan dan anak korban bencana rentan pelecehan
Baca juga: 26 anak Sukabumi jadi korban kejahatan seksual
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019