Setiap hari pukul 13.00 WIB Muhayati menerima sepuluh lusin bahan sarung tangan dan kaos kaki bayi yang harus dia jahit.Pemahaman tentang pekerja rumahan seringkali disamakan dengan pekerja mandiri atau UMKM
Tugasnya sebagai pekerja rumah lepas mengharuskan dia menjahit lusinan sarung tangan dan kaos kaki bayi ini untuk kemudian diambil lagi oleh pengepul pada jam yang sama keesokan harinya ketika dia menerima lagi proyek borongan jahit itu.
Setidaknya, ibu dari lima anak ini sudah menekuni pekerjaannya sejak 12 tahun silam. Sempat berhenti pada 2013 karena mesin yang rusak terendam banjir, Murhayati pun memulai kembali pekerjaan ini sejak 2017 hingga kini.
Sejahtera tentu bukan alasan Muhayati kembali menjadi pekerja rumah lepas. Hanya semangat untuk membantu suaminya menopang ekonomi keluargalah yang membuat dia bertahan dengan kondisi ini.
"Kami butuh pengakuan. Karena selama ini sifatnya tersembunyi dan tidak ada perlindugnan atas pekerjaan kami," kata Muhayati.
Pekerjaan jahit-menjahit tanpa kontrak kerja yang jelas sementara tanggung jawab yang tak sedikit, membuat para pekerja rumah lepas seperti Muhayati seringkali mendapatkan kerugian alih-alih untung.
Ia mengatakan, untuk 10 lusin sarung tangan dan kaos kaki bayi yang dia jahit, dia hanya menerima upah sekadarnya, yakni Rp30 ribu. Padahal jika ada jahitannya yang rusak, dia diharuskan menggantinya.
Hal yang tak kalah pilu dialami oleh pekerja rumah lepas lainnya yang bekerja di sektor pengeleman sepatu. Mereka hanya dihargai Rp300 per sepatu dan bisa menyelesaikan 50 sampai 40 buah sepatu per harinya. Tapi kalau ada kesalahan, pekerja rumah ini diharuskan mengganti sekitar Rp14 ribu per sepatu.
"Pekerjaan begini enggak ada liburnya, kalau barang itu mau dikirim, kami terus diburu-buru. Kami bahkan bisa kerja 24 jam. Ironisnya keberadaan kami tidak diakui oleh perusahaan yang mempekerjakan kami," kata dia.
Padahal selain menguras tenaga, pekerja rumahan ini juga harus merelakan rumahnya menjadi "pabrik" sekaligus "gudang" untuk barang-barang yang masuk.
Tak heran kalau kemudian rumah mereka yang tak seberapa luasnya harus disesaki oleh barang yang menumpuk. Tentu kondisi ini juga mengganggu kenyamanan anggota keluarga lainnya.
Begitu pun dengan listrik, air, dan semua sarana penunjang yang pembayarannya tetap harus mereka tanggung sendiri.
Muhayati mengatakan, selama ini perusahaan memang membayar upah pekerja rumah melalui perantara yang membawahi setidaknya 15 pekerja rumah lepas.
"Saya pun saat ini mesin jahit punya sendiri dan membayar listriknya sendiri. Untuk sebulan sekitar Rp80 ribu sampai Rp120 ribu lah," ucap dia.
Belum lagi kalau ada kecelakaan kerja. Dengan ketiadaan kontrak perjanjian dalam pekerjaan membuat mereka jauh dari jaminan kesehatan.
"Kalau kecelakaan ya obati sendiri, contohnya saya kena jarum jahit, sudah berdarah, tetap saja mereka enggak mau tahu. Kalau yang pengeleman kan bau lem yang menyengat juga bahaya. Biasanya kami menghidupkan kipas agar bau lem keluar dari rumah. Tapi badan juga bisa jadi masuk angin karena terus-menerus kena angin," ucap dia.
Oleh karena itu, para pekerja rumahan ke depannya meminta sebuah pengakuan agar ada jaminan atas kelayakan hidup mereka.
"Karena pekerjaan rumahan ini kerja tersembunyi, kita ada rantai pasoknya, jadi ada yang mengambil dari perusahaan dan ada yang dari perantara. Terutama tentang jaminan sosial, kami menuntut pemerintah segera menghentikan bisnis yang tidak menghargai hak asasi pekerja rumahan," ucap dia.
Baca juga: Ini tujuh pekerjaan dengan upah buruh di bawah rata-rata nasional
Baca juga: Buruh sambut baik pembentukan Desk Tenaga Kerja di kepolisian
Permasalahan Perburuhan
Koordinator Advokasi Pekerja Informal Trade Union Rights Centre, Dede Rina mengatakan geliat industri padat karya di Indonesia memang selalu beriringan dengan munculnya permasalahan baru di isu perburuhan.
Menurut dia, industri padat karya mengandalkan buruh murah dalam jumlah besar sebagai upaya memenangkan kompetisi di arena pasar bebas.
"Hal ini membuat industri padat karya dalam menekan biaya produksi menggunakan skema putting out system atau skema produksi komoditas yang melimpahkan proses produksi ke industri skala rumahan untuk mengefisienkan rasio beban produksi," kata Rina.
Pekerja rumahan bisa dilihat dari tiga hal, yaitu mengerjakan produk yang diperoleh dari industri pabrik, membantu sebagian penyelesaian sebuah produk yang diperintahkan oleh pemberi kerja, hingga pengerjaan yang dilakukan di rumah masing-masing melalui perantara.
"Pemahaman tentang pekerja rumahan seringkali disamakan dengan pekerja mandiri atau UMKM. Padahal kenyataannya pekerja rumahan memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja yang meliputi upah, perintah, target waktu, kualitas, jumlah dan ketentuan lainnya yang bisa dikatakan hampir sama seperti buruh pabrik," ucap dia.
Bagi pengusaha, mengerahkan pekerja rumahan dalam rantai produksi padat karya memang menguntungkan. Selain efisiensi biaya produksi, peran pekerja ini juga membantu dalam mempercepat penyelesaian produksi, memperluas kreasi produksi, dan sebagainya.
Namun, kondisi tersebut justru terbalik dengan yang dialami oleh para pekerja, karena mereka masih mendapat upah di bawah upah minimum, Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang tidak terjamin, dan potensi kecelakaan kerja yang tidak hanya mengancam para pekerja tetapi juga keluarga pekerja.
"Oleh karena itu kami menuntut pemerintah segera memberikan regulasi khusus yang melindungi pekerja rumahan lewat Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan," kata Rina.
Pihaknya pun menuntut pemerintah memberikan perlindungan sosial ketenagakerjaan kepada pekerja rumahan dan menghentikan praktik-praktik bisnis yang tidak menghargai hak asasi manusia.
Pemerintah seharusnya juga segera membuka akses kerja layak bagi pekerja rumahan.
Baca juga: Blokade jalan seputar Istana Merdeka dibuka
Baca juga: Industri rumahan hilangkan niat bekerja sebagai pekerja migran
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019