Dalam pemutusan kontrak kerja sama tersebut, BPJS Kesehatan sebagai operator Program JKN hanya sebatas melaksanakan regulasi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang salah satunya mengatur perihal rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus sudah terakreditasi per 1 Januari 2019.
Oleh karena banyaknya rumah sakit yang belum terakreditasi dan terancam tidak bisa memberikan layanan JKN pada masyarakat, Menteri Kesehatan Nila Moeloek kemudian memberikan surat rekomendasi pada 720 rumah sakit yang belum terakreditasi tetap bisa memberikan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional hingga batas waktu 30 Juni 2019.
Namun dalam tenggat waktu tersebut RS terkait harus mengurus proses akreditasinya agar bisa melanjutkan kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Tidak terkecuali, untuk seluruh rumah sakit di Indonesia.
Sebenarnya soal akreditasi rumah sakit ini sudah lama menjadi ketentuan dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan RS.
UU 44 2009 mewajibkan setiap rumah sakit memiliki akreditasi dan melakukan akreditasi ulang secara berkala selama tiga tahun. Sedangkan Permenkes 56 2014 menyebutkan bahwa akreditasi menjadi syarat wajib agar RS tersebut dapat memperpanjang surat izin operasional.
Filosofi akreditasi rumah sakit itu sendiri adalah suatu upaya untuk memberikan perlindungan dan kepastian mutu pelayanan dan keselamatan pasien yang menjalani perawatan di RS tersebut. Selain itu juga untuk menjamin perlindungan dan keselamatan bagi para tenaga kesehatan dan karyawan yang bekerja di RS.
Ada 16 poin yang dinilai berdasarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang disusun oleh KARS beserta dengan Kementerian Kesehatan dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
Poin penilaian tersebut adalah sasaran keselamatan pasien, akses ke rumah sakit dan kontinuitas, hak pasien dan keluarga, asesmen pasien, pelayanan asuhan pasien, pelayanan anestesi dan bedah, pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, manajemen komunikasi dan edukasi, peningkatan mutu dan keselamatan pasien, pencegahan dan pengendalian infeksi.
Selanjutnya tata kelola rumah sakit, manajemen fasilitas dan keselamatan, kompetensi dan kewenangan staf, manajemen informasi dan rekam medis, memiliki program nasional contohnya seperti menurunkan angka kematian ibu dan bayi dan seterusnya, serta integrasi pendidikan kesehatan dalam pelayanan rumah sakit bagi RS pendidikan.
Dari seluruh aspek penilaian tersebut, KARS berhak menentukan kelulusan rumah sakit terkait dengan lima level yang berbeda yakni paling rendah lulus perdana, tingkat dasar, tingkat madya, tingkat utama, dan yang paling bagus adalah paripurna.
Saat ini terdapat sekitar 2800-an rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia dengan total RS yang sudah terakreditasi sebanyak 2.217. Mengutip data dari laman resmi KARS, dari total RS yang sudah terakreditasi tersebut sebanyak 771 RS lulus dalam tingkatan paripurna, 213 RS tingkat utama, 159 RS tingkat madya, 54 RS tingkat dasar, dan 1020 RS baru lulus perdana.
Dari 720 rumah sakit yang belum terakreditasi pada awal Januari 2019, hingga saat ini tinggal 29 rumah sakit yang belum mendaftar untuk melakukan akreditasi.
Dari total 2.430 RS yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan juga terdapat 127 rumah sakit yang habis masa akreditasinya pada Juni mendatang. Dari total tersebut sebanyak 67 RS sudah selesai dilakukan survei, 50 RS lainnya tengah menunggu pelaksanaan survei, dan tinggal 10 rumah sakit yang belum mengajukan akreditasi.
Kemenkes memberikan kebijakan bagi 67 RS yang akreditasi ulang dan menunggu hasil pengumuman oleh KARS dapat memberikan layanan program JKN.
Sementara 50 RS yang sudah terdaftar namun belum dilakukan survei untuk proses akreditasi diberikan kebijakan dapat memberikan pelayanan program JKN tertentu yaitu kegawatdaruratan, cuci darah, kemoterapi, radiologi dan lainnya yang sifatnya bisa membahayakan pasien bila tidak dilayani.
Sedangkan untuk RS yang masih lalai dengan tidak melakukan akreditasi tidak akan mendapat perpanjangan kerja sama dengan BPJS Kesehatan dan layanan JKN di rumah sakit tersebut dihentikan.
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Maya A Rusadi menegaskan bahwa BPJS Kesehatan mengutamakan kepentingan pasien peserta JKN dengan menginformasikan rumah sakit alternatif yang bisa dikunjungi jika salah satu RS tempatnya berobat tidak melanjutkan kerja sama dengan BPJS.
Selain itu BPJS Kesehatan juga berkoordinasi dengan dinas kesehatan daerah setempat untuk memastikan akses layanan kesehatan bagi masyarakat.
"Terkait pemutusan kerja sama kami sudah berkoordinasi, bahwa pelayanan terhadap peserta tidak boleh terganggu, yang penting dipastikan pelayanannya aman untuk peserta. Rumah sakit yang diputus kerja sama karena tidak memenuhi syarat, pelayanannya dilarikan ke mana sudah kami koordinasikan dengan Dinas Kesehatan setempat dan kami membuat informasi-informasi yang bisa disampaikan pada peserta alternatif rumah sakit lain," kata Maya.
Selain itu bagi rumah sakit yang belum terakreditasi namun merupakan fasilitas kesehatan satu-satunya di suatu daerah, atau terdapat dua rumah sakit di suatu daerah namun memiliki jarak yang sangat jauh satu sama lain, Kementerian Kesehatan memberikan diskresi untuk tetap bisa melayani peserta JKN-KIS di luar tenggat waktu 30 Juni.
"Antara akses dengan mutu keselamatan pasien harus dijaga baik. Agar dipertimbangkan untuk dapat tetap melakukan layanan JKN, namun tetap mendorong RS tersebut agar meningkatkan mutu pelayanannya dengan akreditasi," kata Direktur Jenderal Layanan Kesehatan Kemenkes Bambang Wibowo.
Pada intinya persyaratan akreditasi bagi rumah sakit mutlak harus diterapkan untuk memberikan jaminan mutu dan keselamatan terhadap pasien agar tidak mendapatkan pelayanan atau penanganan kesehatan tak diinginkan yang dapat mengancam jiwa.
Baca juga: Pemerintah dorong 39 RS peroleh akreditasi untuk lanjutkan layanan JKN
Baca juga: PERSI komitmen sukseskan JKN
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019