Seorang petani kelapa sawit dari Provinsi Riau menumpahkan keluh kesahnya kepada delegasi Uni Eropa (UE) tentang dampak kebijakan pelarangan minyak kelapa sawit atau CPO Indonesia untuk bahan baku biodiesel di negara-negara Eropa.
“Jelas sangat berdampak ke kehidupan petani karena harga langsung anjlok. Di desa saya 90 persen warga adalah petani sawit swadya,” kata seorang petani, Eko Subroto, saat kujungan 12 orang delegasi Uni Eropa (UE) dan Kedutaan Besar negara anggota UE ke perkebunan sawit PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) di Kabupaten Kampar, Riau, Kamis.
Eko adalah petani sawit swadaya generasi kedua sejak 1994 karena meneruskan usaha orangtuanya yang jadi transmigran dari Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Ia mengaku senang delegasi UE datang langsung ke Riau agar melihat sendiri kondisi petani Indonesia akibat dampak kebijakan pelarangan CPO tersebut.
Ia mengatakan selama ini banyak petani swadaya tidak tahu tentang bagaimana bercocok tanam sawit berkelanjutan. Petani swadaya yang menggantungkan hidup di sawit, lanjutnya, masih menemui banyak kendala mulai dari bibit, kemampuan sumber daya manusia (SDM) hingga pemasaran.
“Bibit dipastikan 90 persen bukan bibit bersertifikasi sehingga hasil panen jauh dari harapan. Kita SDM juga sangat kurang karena kita mengadu nasib jauh dari Jawa ke sini hanya untuk mengubah nasib,” katanya.
Ia mengatakan, petani sawit swadaya kini mulai mau mengubah pola pikir agar bisa memenuhi standar sawit berkelanjutan. Ia mengatakan, petani kini mendapat bimbingan dari Unilever melalui lembaga WRI yang bekerjasama dengan PTPN V agar petani swadaya bisa mendapat sertifikasi berkelanjutan RSPO.
“Selama kita dibimbing, saya yakin petani bisa dapat sertifikasi itu,” ujarnya.
Sebanyak 12 delegasi dari UE dan empat duta besar yang hadir di antaranya berasal dari Finlandia, Spanyol, Belgia, Swedia, dan Hungaria. Selain itu ada juga perwakilan dari lembaga PBB yang membidangi pertanian FAO (Food and Agriculture Organization), Unilever dan lembaga WRI (World Resources Indonesia). Kunjungan rombongan dipimpin oleh Direktur Kerja Sama Intra Kawasan dan Antar Kawasan (KSIA) Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri RI, Masni Eriza.
Penasihat Perubahan Iklim dan Lingkungan dari delegasi UE, Michael Bucki, mengatakan apa yang dilakukan UE bukan merupakan pertarungan antara UE dan Indonesia. Ia berterima kasih pemerintahan Indonesia mengundang delegasi UE untuk melihat langsung apakah benar isu yang berkembang bahwa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan adalah benar atau tidak.
“Ini adalah perlawanan untuk perkebunan sawit yang tidak berkelanjutan,” kata Michael Bucki.
Ia menilai perkebunan sawit di Indonesia sangat kompleks, sedangkan mayoritas masyarakat di Eropa selama ini belum pernah melihat buah kelapa sawit yang sebenarnya.
“Kami membuka diri untuk berdiskusi untuk membahas isu ini,” katanya.
Direktur Operasional PTPN V Balaman Tarigan menyambut kedatangan delegasi UE sebagai perwujudan diplomasi ekonomi menuju pengakuan ISPO di UE, sebagai bagian dari proyek prioritas nasional tahun 2019, yang sedang digencarkan oleh Direktorat KSIA Amerika dan Eropa Kemenlu RI.
“Biarkan mereka melihat sendiri karena ada perumpamaan ‘seeing is believing’, melihat baru percaya,” katanya.
Ia menjelaskan tidak ada yang ditutup-tutupi oleh PTPN V sebagai perusahaan BUMN perintis perkebunan sawit inti dan plasma di Indonesia. Ia menjelaskan PTPN V beroperasi dengan memegang tiga prinsip utama (tripple bottom line principles), yaitu ‘People, Planet dan Profit’.
Dalam kunjungan delegasi UE itu, Balaman Tarigan mengajak tamunya untuk melihat langsung lokasi pembibitan, pemanenan sawit, pabrik CPO hingga pembangkit listrik tenaga biogas yang memanfaatkan limbah sawit. Balaman juga sempat menunjukan satwa-satwa yang hidup bebas di perkebunan PTPN V.
“Mereka lihat banyak monyet disini, kenala dibilang (sawit) kita merusak lingkungan karena monyet saja bisa hidup disini, kok. Seperti dilihat masih banyak monyet, burung hantu dan ular,” katanya.
Ia menambahkan, PTPN V tercatat sebagai BUMN perkebunan yang telah mengantongi sertifikat minyak sawit berkelanjutan seperti RSPO, ISPO dan ISCC. Ini menjadi cerminan bahwa perusahaan telah menerapkan aspek berkelanjutan dalam proses budidayanya dan telah mengantongi sertifikasi sustainability terbanyak di antara perusahaan perkebunan plat merah lainnya.
Seluruh CPO yang dihasilkan PTPN V dari 12 pabrik kelapa sawit milik PTPN V yang telah memperoleh sertifikasi ISPO. Dua PKS di antaranya telah memperoleh sertifikasi ISCC, sertifikasi khusus pasar Eropa.
Baca juga: Menko Luhut: Pemerintah Berikan Perhatian Besar Kepada Petani Sawit
Baca juga: Kebijakan diskriminasi Eropa berpotensi ancam 16 juta pekerja sawit
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019