...kalau hanya dipelajari saja tanpa amal yang nyata, agama menjadi terlalu kering, terlalu melangit...
"Agama, kalau hanya dipelajari saja tanpa amal yang nyata, agama menjadi terlalu kering, terlalu melangit, tidak dihunjamkan ke bumi," kata Halim Ambiya, ustaz lulusan program pascasarjana sejarah peradaban Islam di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Internasional Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagai bagian dari upaya mengamalkan ilmu agama, dan membumikannya, Halim membentuk Komunitas Tasawuf Underground, yang lahir dari kerisauannya melihat minimnya akses anak punk dan anak jalanan terhadap pendidikan agama.
Lewat komunitas itu dia ingin merangkul anak punk dan anak jalanan Ibu Kota untuk lebih mengenal Tuhan, mengajak mereka pulang dengan mengingatkan kembali tugasnya sebagai manusia, sebagai hamba.
Saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (8/5), pria berusia 45 tahun itu menuturkan bahwa semula komunitas hanya bergerak di media sosial, menyebarkan konten-konten dakwah lewat Facebook dan Instagram.
"Tujuh tahun, rutin mem-posting kalimat-kalimat hikmat, ajaran-ajaran Islam tentang tasawuf, ilmu batin dan syariat di media sosial," kata Halim.
"Karena respons di media sosial cukup tinggi, maka saya dan teman relawan memutuskan untuk membuat komunitas mengaji di jalanan yang diperuntukkan untuk anak punk dan anak jalanan," katanya sambil membetulkan posisi penutup kepalanya.
Dosen di Universitas Islam Negeri Jakarta itu kemudian menyusuri lorong-lorong Ibu Kota untuk mencari titik kumpul anak jalanan dan anak punk, lalu berusaha mengajak mereka belajar tentang Islam bersama-sama.
Namun mengajak anak jalanan dan anak punk mengaji bukanlah perkara mudah. Halim memulainya dengan mendekati mereka, mengajak mereka berbincang sambil ngopi bareng.
Setelah beberapa kali pertemuan, ia menawarkan "peta jalan pulang", metode pengajaran komunitas untuk mengenalkan kembali agama kepada anak jalanan dan anak punk serta mengubah stigma masyarakat terhadap mereka.
"Ternyata ketika saya masuk ke mereka tidak butuh energi besar, namun mereka juga tidak bisa didekati dengan nasihat biasa, harus disentuh secara pribadi," katanya.
"Persahabatan adalah kunci utamanya. Di situ lahir berbagi ilmu, berkah, hingga berbagi pekerjaan. Akhirnya mereka yang meminta saya untuk mengajarkan mengaji dan shalat," ia menambahkan.
Halim kini rutin mengajar Komunitas Tasawuf Underground di kolong jembatan Tebet, Jakarta Selatan, setiap Jumat dan Sabtu pukul 14.00 hingga 17.00 WIB.
Secara perlahan dia mengajarkan cara membaca huruf hijaiyah serta tata cara berwudhu dan shalat. Dia juga mengajak mereka mempelajari makna shalat, zikir, ilmu fikih, tasawuf, hingga cara mengkafani dan menyalati jenazah.
Tapi Halim bukan hanya seorang ustaz bagi anak jalanan dan anak punk, dia juga ayah ideologis dan sahabat mereka. Seperti ayah dan sahabat, Halim tahu permasalahan yang dihadapi murid-muridnya.
Lewat pendekatan persahabatan itu pula Halim bisa membantu anak punk dan anak jalanan melepaskan ketergantungan mereka pada jalanan, mengajak mereka beralih dari mengamen di jalanan.
Halim membangun usaha sablon dan mengajak beberapa muridnya untuk bergabung. Dia juga membuka kedai kopi untuk menarik anak-anak yang sudah belajar menjadi barista.
"Tanggal 1 Mei kami sudah meresmikan kedai kopi, namanya 'Coffee Salawat' dan sebelumnya, awal tahun kita juga buka tempat nyablon," katanya.
Sekarang murid Halim jumlahnya sudah 95 orang, kebanyakan berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kegiatan mengaji komunitas itu juga mendapat respons positif dari warga dan rekan-rekan Halim, yang sering memberikan bantuan berupa makanan, sarung hingga sarana transportasi.
Jalan Pulang
Anak-anak yang karena keadaan mau tak mau harus menggantungkan hidup di jalanan menyadari label yang dilekatkan masyarakat umum kepada mereka.
Dengan tubuh penuh tato dan bertindik dan pakaian kumal, mereka sadar orang-orang akan memandang dengan sebelah mata, bahkan menganggap mereka sebagai preman atau kriminal.
Tasawuf Underground menggandeng anak-anak seperti mereka untuk pulang, kembali ke jalan menuju Tuhan.
Septa Maulana, yang tubuhnya penuh tato, ada di antara anak-anak punk yang belajar mengaji bersama komunitas itu di kolong Jembatan Layang Tebet, Jakarta Selatan.
Dia menjadi bagian dari kelompok anak punk setelah kabur dari rumah karena bosan melihat kedua orangtuanya terus bertengkar.
"Kabur dari rumah saya, tidurnya di pasar. Nongkrong di Mal Cimanggis, Depok. Diajak minum sama teman-teman punk, mabuk," kata Septa, yang dada, punggung, lengan dan kakinya penuh tato.
Sesudah itu, rutinitas sehari-harinya adalah mengamen, menonton konser sambil mabuk dan menggunakan narkoba. Kegiatan itu membuat dia sering menjadi incaran petugas keamanan.
"Saya sering ditangkap Satpol PP, didata, terus dilepas lagi," kata Septa, yang hanya belajar sampai kelas VII Madrasah Tsanawiyah pada 2008.
Dia mulai tertarik dengan Tasawuf Underground setelah mengetahuinya dari Instagram pada akhir 2018.
"Enggak sengaja buka-buka Instagram, ketemu Instagram-nya ustaz, kata-katanya nyentuh dan gampang dicerna, di situ juga ada nomornya. Saya beranikan diri untuk komunikasi ke ustaz, untuk datang ke Tebet untuk ajarin kita," katanya.
Pada masa awal mengikuti pengajian, Septa belum bisa meninggalkan kebiasaan mengonsumsi narkoba. Halim kemudian membantu mereka menjalani rehabilitasi guna mengatasi ketergantungan pada narkoba.
Kini ia merasa menemukan rumah baru dengan teman-teman yang sudah seperti saudara sedarah. Kalau ada salah satu kawan yang mengalami masalah, yang lain akan bahu membahu membantu.
Sebagaimana Septa, Bima Abdul Saleh (26) juga merasakan kehidupan yang lebih baik setelah empat bulan bergabung dengan Komunitas Tasawuf Underground.
"Alhamdulillah dalam kehidupan sehari-hari sudah lebih baik, jadi nyaman, tidak seperti dulu. Sekarang juga lebih disiplin," kata Bima, yang kini sudah hafal beberapa surah pendek dalam Al Quran.
"Di sini punya jiwa sosialisasi yang tinggi banget, tidak pandang fisik, semua dirangkul," katanya.
Pemuda dengan wajah bertato yang sedang mempelajari Surah Ar Rahman dalam Al Quran itu sekarang merasa dua kali sepekan saja tidak cukup untuk mengaji.
Dia juga merasa sudah membuang banyak waktu pada masa lalu dan menyesal telah menato tubuhnya.
"Dulu saya ngamen, nongkrong, tato, buang-buang waktu lah. Ibaratnya nyiksa badan sendiri. Makanya di sini ada kesempatan, saya manfaatkan sebaik-baiknya. Mumpung ada yang bimbing," kenang Bima sambil memetik gitarnya.
Di mata Bima, Halim telah banyak mengajarkan kebaikan dan ketulusan. "Jarang ada orang yang mau ikut berkecimpung dengan orang-orang seperti kita," katanya.
Baca juga: Polisi Bojonegoro gandeng pesantren bina anak punk
Pewarta: Virna P Setyorini/Galih Pradipta
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019