Halitosis berasal dari istilah Latin halitus (napas) dan akhiran Yunani kuno osis (proses atau perubahan patologis), yang berarti napas bau. Masyarakat awam menyebut halitosis sebagai bau mulut atau mulut berbau.
Di dunia kedokteran, halitosis memiliki banyak sinonim. Misalnya bad breath, bad mouth odor, fetor ex-ore, fetor oris, foetor oris, mouth odor, oral malodor.
Halitosis memengaruhi sekitar 50-65 persen populasi di seluruh dunia. Sedikit berbeda, Xinyu Wu, dkk (2018) mengungkap bahwa sekitar 15 persen hingga 93 persen populasi penduduk dunia pernah mengalami halitosis.
Pada populasi umum, prevalensi halitosis memang beragam. Di Amerika Serikat sekitar 50 persen, di China sekitar 6-23 persen, di India berkisar dari 21,7 persen pada pria hingga 35,3 persen pada perempuan.
Di Swedia, hasil penelitian dari 840 pria, halitosis hanya dijumpai di sekitar 2 persen populasi. Studi di China yang melibatkan lebih dari 2500 partisipan berhasil menemukan prevalensi halitosis di atas 27,5 persen. Di Belanda, halitosis merupakan salah satu dari seratus penyebab stres manusia.
Pada anak-anak, prevalensi halitosis dilaporkan 5-75 persen. Insiden halitosis meningkat seiring bertambahnya usia. Meskipun demikian, halitosis dapat dialami siapapun dan usia berapapun.
Penyebab
Halitosis dibentuk oleh pelbagai molekul yang mudah menguap (volatil) dikarenakan alasan patologis atau nonpatologis. Hal itu berasal dari sumber mulut (oral) atau di luar mulut (non-oral).
Persenyawaan volatil tersebut berupa persenyawaan sulfur volatil (misalnya hidrogen sulfide, metil merkaptan, dimetil sulfida), amin dan persenyawaan aromatik volatil (berupa: indol, skatol, piridin, pikolin, urea, amonia, metilamin, dimetilamin, trimetilamin, putrescine, kadaverin), asam lemak rantai pendek/medium atau asam organik (contohnya: asam propionat, asam butirat, asam asetat, asam valerat, asam isovalerat, asam esanoat), alkohol (seperti: metanol, etanol, propanol), persenyawaan alifatik volatil (misal: siklopropan, siklobutan, pentan), aldehid dan keton (berupa: asetaldehid, aseton, benzofenon, asetofenon).
Persenyawaan belerang yang mudah menguap (VSC) bertanggung jawab atas terjadinya halitosis intra-oral (di dalam rongga mulut). Jenis VSC lain, yakni dimetil sulfida bertanggung jawab atas kejadian halitosis ekstra-oral atau halitosis yang diperantarai melalui aliran pembuluh darah, namun dapat sebagai penyebab bau mulut.
Halitosis dapat disebabkan oleh beragam faktor oral, yakni kondisi dari dalam rongga mulut.
Misalnya, kebersihan rongga mulut yang kurang terjaga, pengaruh makanan tertentu, kantung periodontal, gingivitis ulseratif nekrotisasi akut, periodontitis agresif pada dewasa, perikoronitis (radang jaringan lunak di sekitar mahkota gigi yang erupsi), penyakit Vincent, nyeri gigi pascapencabutan gigi dewasa (dry socket), bibir atau mulut kering (xerostomia), sariawan atau luka di membran mukosa dari rongga mulut (oral ulceration), keganasan di mulut (berupa kanker atau tumor), restorasi defektif, gigi palsu atau gigi tiruan yang tidak terawat.
Beberapa penyebab esktraoral halitosis telah teridentifikasi. Patologi gastrointestinal merupakan penyebab ekstraoral tersering. Strain Helicobacter pylori bertanggung jawab atas produksi VSC. Arjan Pol dkk (2017) berhasil menemukan mutasi pada Selenium-binding protein 1 (SELENBP1) sebagai penyebab halitosis ekstraoral.
Gangguan metabolisme atau sistem organ juga menyebabkan halitosis. Penyebab sistemik halitosis, misalnya: demam akut, infeksi Helicobacter pylori, infeksi saluran pernapasan bagian atas, kegagalan organ (gagal ginjal, gagal hati), haid atau menstruasi, leukemia, penyakit refluks gastroesofagus (GERD), divertikulum faringoesofagus, stenosis pilorik atau obstruksi duodenum, diabetik ketoasidosis, trimetilaminuria, hipermetioninaemia.
Penilaian
Ada beberapa prinsip penilaian atau evaluasi untuk menegakkan diagnosis halitosis. Pertama, organoleptik. Suatu tes sensoris yang diberi skor oleh klinisi berdasarkan persepsi klinisi.
Sistem skor yang digunakan menggunakan skala 1-5, dimana 1 berarti tidak terdapat bau mulut, dan 5 bermakna bau amat busuk. Hasil WTCI (Winkel Tongue Coating Index) menunjukkan perbedaan nyata dalam hal konsentrasi dan lokasi VSC di antara halitosis ekstra-oral dan intra-oral.
Kedua, kromatografi gas. Metode ini direkomendasikan peneliti atau ilmuwan untuk membedakan jenis VSC (volatile sulfur compounds) apa saja sebagai kontributor halitosis. Pengukuran VSC diperoleh dari sampel air ludah, tongue coating, dan napas.
Strategi ini tepat pula untuk membantu klinisi menentukan asal-mula halitosis, apakah intra-oral ataukah ekstra-oral. Meskipun paling objektif dan memiliki spesifisitas tinggi karena dapat mendeteksi VSC dalam konsentrasi rendah, namun metode ini mahal dan tidak semua dokter gigi memilikinya.
Ketiga, pengawasan sulfida. Suatu peralatan portabel untuk memantau VSC melalui suatu reaksi elektrokimiawi dengan persenyawaan sulfur yang terdapat dalam napas, diperoleh dari tube dari mulut pasien. Kelemahan metode ini, sangat sensitif untuk mendeteksi hidrogen sulfida, namun kurang sensitif untuk mendeteksi metil merkaptan.
Bila monitor menunjukkan kadar VSC rendah, tidak dapat secara akurat menentukan apakah faktor lain juga terlibat, seperti: alkohol, persenyawaan fenil, dan poliamin. Monitor ini memang diperuntukkan menghitung total VSC, bukan menentukan persenyawaan individu.
Keempat, tes BANA. Metode untuk mendeteksi anaerob gram negatif dan asam lemak rantai pendek di bagian dorsum lidah. Peran spesifik beragam bakteri dalam proses produksi VSC tidak dapat ditentukan dengan tes ini.
Kelima, sensor kimiawi. Metode ini membantu klinisi mengukur VSC dari lidah dan periodontal pocket. Elemen sensor sulfida di probe mengenali ion-ion sulfida dan menilai konsentrasi ion-ion tersebut.
Keenam, Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik molekuler ini berhasil menemukan berbagai mikroflora, seperti: Actinomyces, Provetella, Streptococcus, dan Veillonella.
Ketujuh, kuesioner HALT (Halitosis associated life-quality test). Kuesioner HALT dikembangkan untuk memahami efek halitosis terhadap kualitas kehidupan. Metode ini menyediakan evaluasi komprehensif, meliputi aspek fisik, sosial, psikologis, efek negatif halitosis. Terdiri dari 20 item spesifik dengan skor maksimal 100. Skor HALT umumnya lebih tinggi daripada skor organoleptik.
Diagnosis
Langkah penegakan diagnosis meliputi anamnesis komprehensif beserta analisis diet dan identifikasi kebiasaan personal. Keluhan utama pasien perlu dipahami. Riwayat halitosis dan penyakit gigi perlu dicatat.
Observasi klinis lidah, gigi, jaringan periodontal, saluran pernapasan atas, disertai pemeriksaan ekstra-oral perlu dilakukan dokter gigi saat menangani pasien. Setelah penilaian holistik selesai dilakukan, dokter gigi menentukan klasifikasi halitosis. Pemahaman etiologi dan patofisiologi penting untuk menentukan tatalaksana yang sesuai.
Tatalaksana
Agar krisis halitosis terkikis habis, ada beberapa pendekatan. Bila dijumpai penyakit periodontal dan karies gigi, maka perlu segera memeriksakan diri ke dokter gigi. Memastikan kebersihan dan perawatan mulut dan gigi adalah elemen terpenting dalam tatalaksana halitosis.
Strategi lainnya berupa: mengurangi mikroorganisme, menggunakan produk penyegar mulut, netralisasi kimiawi VSC. Gaya hidup yang ditekankan: berhenti merokok, hindari produk tembakau, dan tidak memakai pasta gigi baking soda.
Ada fakta menarik dan unik. Meskipun terdapat penurunan jumlah bakteri dengan menggosok gigi, beberapa studi tidak berhasil menemukan perbedaan atau korelasi antara kebiasaan gosok gigi dan halitosis.
Terapi antimikrobial untuk mengurangi proteolitik, flora anaerob di permukaan lidah. Sikat lidah (tongue scraper) dan penyegar mulut antimikroba (antimicrobial mouth rinse, AMR) dapat digunakan. Klinisi merekomendasikan AMR berupa klorheksidin (CHX), triklosan, minyak esensial, setilpiridinium klorida (CPC), agen oksidasi dan ion-ion logam. Propolis dapat digunakan untuk mengatasi halitosis.
Standar emas CHX diterima untuk tatalaksana halitosis. Kombinasi penggunaan CHX dan CPC mereduksi jumlah bakteri aerob dan anaerob, serta menurunkan kadar VSC.
Selain itu, mengonsumsi probiotik Lactobacillus salivarius WB 21 dapat membantu mengendalikan faktor-faktor terkait halitosis.
Studi in vivo melaporkan bahwa obat kumur mulut (klorheksidin), mengandung ekstrak pericarp Garcinia mangostana L., secara signifikan mengurani kadar VSC pada pasien gingivitis.
Studi RCT selama empat minggu menunjukkan bahwa Hyangsa-Pyeongwi san (herbal China) dapat meredakan halitosis serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan dispepsia fungsional.
Berdasarkan perspektif kedokteran China, halitosis bermula dari retensi uap (lembab), api (panas) di mulut, lambung, liver, limpa, di mana semuanya terkoneksi sebagai satu-kesatuan. Keseimbangan adalah kunci penyembuhan. Untuk mewujudkannya, diperlukan herbal China yang bersifat "dingin". Misalnya: Coptis chinensis, Lonicera japonica, Scutellaria baicalensis, rhizoma zingiberis.
Farmakologi modern berhasil membuktikan bahwa Coptis chinensis memiliki kandungan antibakteri, antitoksin, antiulser, dan mengurangi asam lambung. Lonicera japonica berefek kuat terhadap VSC dan fungsi bakteriostasis pada halitosis terkait bakteri anaerob.
Scutellaria baicalensis memiliki efek terhadap iNOS, COX2, NF-kappa-B, dan berbagai sitokin inflamasi, seperti: IL-1beta, IL-2, IL-6, IL-12, and TNF-alfa.
*) dr Dito Anurogo MSc adalah dokter digital literasi, penulis puluhan buku, dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, kepala LP3AI ADPERTISI, pengurus FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM (Asosiasi Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Muhammadiyah).
Baca juga: Perlukah obat kumur saat puasa?
Baca juga: Kenapa puasa bisa sebabkan bau mulut?
Pewarta: dr Dito Anurogo MSc
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019