"Kita diundang kalau mau datang ke Xinjiang untuk melihat bagaimana mereka bangun sistem identifikasi masalah terorisme di sana," kata Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius saat ditemui ANTARA di Kota Tianjin, Minggu (19/5).
Undangan tersebut disampaikan saat Suhardi bertemu jajaran pejabat Kementerian Keamanan Negara (MSS) atau semacam badan intelijen China di Beijing sebelum bertolak menuju Tianjin untuk menjadi pembicara dalam Simposium Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania.
Suhardi mengatakan model penanggulangan terorisme oleh China adalah dengan membangun lembaga pelatihan kerja untuk meningkatkan keterampilan masyarakat yang teridentifikasi terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.
"Kamp pendidikan seperti itu menjadi kelebihan mereka karena akar masalah terorisme itu adalah ekonomi dan kesejahteraan. Hal ini yang mereka sentuh," ujar jenderal polisi bintang tiga itu.
Dalam pertemuan tersebut, MSS dan BNPT juga berbagi informasi mengenai pola penanggulangan terorisme di kedua negara.
Apalagi Indonesia dan China, lanjut Suhardi, juga telah menandatangani naskah kerja sama (MoU) penanggulangan terorisme.
"Banyak hal yang mereka tanyakan mengenai masalah-masalah terorisme. Apalagi ada juga warga sini yang ikut pelatihan di Sulawesi, kita jawab secara proporsional dan prosesnya akan dikoordinasikan dengan Kemenpolhukam dan kementerian terkait," ujarnya mengenai beberapa warga etnis Uighur Xinjiang yang sempat bergabung dengan kelompok terorisme pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
Lebih lanjut Suhardi menyatakan bahwa pola yang kamp pendidikan dan pelatihan vokasi di Xinjiang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia karena faktor penyebab tumbuhnya radikalisme dan terorisme berbeda dengan di China.
"Varian (terorisme) di kita banyak sekali. Masalah kesejahteraan, masalah pendidikan, masalah pemahaman agama itu yang mesti kita sentuh," katanya.
BNPT selama ini melakukan pendekatan yang lebih manusiawi kepada kelompok atau tokoh masyarakat yang pernah terlibat aksi terorisme di Indonesia.
Salah satunya adalah dengan memperbaiki masjid dan mendirikan Taman Pendidikan Al Quran (TPS) atau lembaga pendidikan lain di desa atau kawasan yang teridentifikasi sebagai basis pembibitan radikalisme dengan memberikan pendidikan wawasan kebangsaan, seperti di Desa Tenggulun, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, dan Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Saat ini BNPT sedang memperbaiki sarana ibadah dan lembaga pendidikan agama serta infrastruktur di beberapa desa lain di Nusa Tenggara Barat dan Sulteng.
"Di tempat-tempat tersebut sekarang sudah bisa dilihat, setiap Senin sudah ada upacara pengibaran bendera Merah-Putih," kata mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri itu.
Pihak MSS, lanjut Suhardi, mengapreasiasi penanggulangan terorisme yang telah dilakukan BNPT bersama 36 komponen lainnya.
"Saya sampaikan 'update' bagaimana kita melakukan pendekatan 'soft power' yang berperan menanggulangi terorisme. Para terorisme jangan dimarjinalkan, tapi harus kita berdayakan, bahkan kita gunakan sebagai narasumber. Mereka (pihak MSS) juga mengapresiasinya," katanya.
Sebelumnya, beberapa perwira di jajaran Mabes Polri bersama para tokoh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di Indonesia juga telah mendapatkan kesempatan mengunjungi kamp vokasi di Xinjiang menjelang akhir Maret 2019.
Kamp yang dimaksudkan untuk program deradikalisasi etnis Uighur di provinsi paling barat China itu mendapatkan sorotan dan kecaman dari aktivis HAM PBB dan parlemen di negara-negara Barat karena dituduh sebagai kedok atas upaya Pemerintah China memperkusi masyarakat Uighur.
Baca juga: Sekjen PBB angkat isu Uighur Xinjiang saat lawatan ke China
Baca juga: Beijing undang diplomat EU kunjungi Xinjiang
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019