Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mendukung rencana pemerintah untuk mewajibkan importir atau perusahaan rokok membangun kemitraan dengan petani guna mendapatkan izin impor tembakau.Kabarnya saat ini Kementerian Pertanian (Kementan) sedang menyusun aturan RIT. Petani pun sudah diajak berdiskusi untuk dimintai masukan terhadap aturan tersebut
Ketua Umum APTI Suseno mengatakan petani meminta kemitraan menjadi prasyarat utama bagi importir tembakau untuk memperoleh Rekomendasi Impor Tembakau (RIT).
"Kabarnya saat ini Kementerian Pertanian (Kementan) sedang menyusun aturan RIT. Petani pun sudah diajak berdiskusi untuk dimintai masukan terhadap aturan tersebut," ungkap Suseno pada acara Diskusi Industri Hasil Tembakau Sebuah Sebuah Paradoks di Graha Amti Jakarta Selatan, Rabu.
Menurutnya, dengan adanya kemitraan petani dengan pabrik rokok maka ada jaminan harga, kualitas, teknlogi dan pasar tembakau dari perusahaan mitra.
Dia menambahkan, pabrik rokok bisa menjamin pasokan karena mengetahui kondisi lahan, kapasitas produksi dan serapan tembakau petani.
"Adanya kemitraan diharapkan harga tembakau di tingkat petani akan meningkat," katanya.
Dia menjelaskan impor tembakau akan dibatasi menyusul dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau.
“Impor tembakau harus melalui rekomendasi Menteri Pertanian. Konsekuensinya Kementan juga harus membuat aturan teknis soal rekomendasi impor tembakau,” katanya.
Suseno menyatakan ada tiga jenis tembakau yang biasa diimpor oleh Indonesia yakni Virginia, Burley dan Oriental.Ketiga jenis tembakau ini sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok.
"Produksi Burley dan Oriental dalam negeri sedikit sekali. Sementara itu, jenis Burley hanya ditanam di daerah Lumajang sekitar 900 hektare (ha)," ujarnya.
Sedangkan jenis Oriental diproduksi sedikit di Madura, kemudian Virginia di Lombok dengan luas tanam hanya sekitar 23.000-26.000 ha dari sebelumnya 65.000 ha.
“Saat ini sedang digodok model kemitraan petani tembakau oleh Kementan. Meskipun di lapangan model kemitraan di sentra tembakau berbeda-beda. Diharapkan aturan kemitraan nantinya bisa diterapkan di semua sentra tembakau,” katanya.
Luas lahan tembakau nasional 206.514 ha dengan produksi 198.295 ton. Sementara itu, produksi rokok 340 miliar batang. Sehingga dibutuhkan 340.000 ton tembakau. “Dan sisa kekurangannya dipenuhi dari impor,” ujar Suseno.
Sementera itu Sekertaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I ketut Budiman menyebutkan luas areal cengkeh Indonesia sekitar 500.000 ha, produksinya 110.000-120.000 ton per tahun.
Sekitar 95 persen diserap oleh pabrik rokok. Sehingga ketergantungan petani cengkeh terhadp pabrik rokok sangat tinggi," katanya.
Dia menjelaskan hilangnya eforia cengkeh petani pada saat Kementerian Perdagangan mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528 Tahun 2002 tentang Ketentuan Impor Cengkeh.
Dalam aturan itu, tambahnya, cengkih dapat diimpor oleh pabrik rokok ketika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan industri rokok. Kemudian diganti Permendag Nomor 75 tahun 2015 dimana setiap orang boleh mengimpor cengkih.
"Imbasnya harga cengkeh di tingkat petani jatuh. Awalnya Rp120.000-Rp130.000 per kilogram, sekarang hanya Rp 90.000 per kg. “Sehingga kesejahteraan petani cengkeh menurun drastis," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, petani minta agar pemerintah meninjau kembali Permendag tersebut, karena dalam Nawacita, Presiden Jokowi ingin melindungi petani.
Baca juga: APTI apresiasi regulasi tembakau
Baca juga: APTI : tembakau Jabar diminati industri rokok mancanegara
Pewarta: Subagyo
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019