Pemerhati Sungai di Samarinda, Kalimantan Timur, menilai bahwa banjir yang terjadi di Samarinda dalam beberapa hari terakhir antara lain karena sejumlah rawa di sekitar sungai sudah beralihfungsi menjadi perumahan.
"Hukum alam paling dasar adalah air selalu menempati kawasan paling rendah, jika kawasan rendah hilang, maka ia akan meluber liar yang kemudian menjadi banjir," ujar Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda, Misman di Samarinda, Senin.
Selama ini, lanjutnya, rawa merupakan tempat paling potensial sebagai wadah parkir air hujan sebelum dialirkan ke sungai secara perlahan, namun rawa tersebut makin lama makin habis karena dialihfungsikan, terutama untuk perumahan oleh pengembang dan untuk pemukiman pribadi secara tidak ramah lingkungan.
Akibatnya, ketika hujan turun maupun sungai pasang, air tidak bisa lagi masuk ke areal rawa sehingga air akan menempati ruangannya sendiri atau yang disebut daerah aliran sungai (DAS) meski rawa tersebut telah diuruk, karena dulunya lokasi itu adalah ruang sungai, bukan lahan masyarakat seperti sekarang.
Ia juga mengatakan bahwa ketika ada banjir, Sungai Karang Mumus (SKM) jangan dikambinghitamkan karena airnya meluap tetapi yang perlu disalahkan adalah oknum yang telah menguruk rawa .
Parahnya lagi, lanjut, Misman, sekarang pemerintah membuat taman di bantaran SKM dan taman tersebut disemen, sehingga hal ini tentu saja menghilangkan daerah resapan air. Semestinya taman yang dibuat harus ramah lingkungan.
“Kalau sudah begini, lantas apa yang dilakukan? Samarinda ini masih bisa kok diselamatkan dari bencana banjir yang lebih besar lagi. Banyak cara yang bisa dilakukan, jangan membangun hanya memasang slogan smart city, tapi nyatanya tidak ramah lingkungan,” katanya.
Ia meminta agar jangan lagi memberi izin untuk mengalihfungsikan rawa, kawasan di sepanjang sungai dan riparian atau tumbuhan yang hidup dan berkembang di tepi-tepi sungai harus dijaga.
“Dalam empat tahun terakhir, GMSS-SKM masih berusaha membantu Samarinda untuk menghindarkan dari bencana yang lebih besar, diantaranya adalah dengan menanam pohon yang saat ini sudah tertanam sekitar 10.000 pohon khas sungai,” katanya.
Baca juga: Butuh Rp200 triliun benahi DAS kritis
Baca juga: KLHK targetkan tanami DAS 230.000 hektare
Baca juga: Upaya pemulihan daerah aliran sungai di Gorontalo
Pewarta: M.Ghofar
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019