• Beranda
  • Berita
  • Banyak faktor pengaruhi kondisi udara Jakarta saat Lebaran

Banyak faktor pengaruhi kondisi udara Jakarta saat Lebaran

11 Juni 2019 18:47 WIB
Banyak faktor pengaruhi kondisi udara Jakarta saat Lebaran
Suasana gedung bertingkat terlihat samar oleh selimut kabut dan asap polusi di Jakarta Selatan, Kamis (26/7/2018). Greenpeace Indonesia menyatakan berdasarkan data dari pemantau kualitas udara AirVisual pada Selasa (24/7/2018) lalu Jakarta menjadi kota dengan polusi tertinggi di dunia dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) 183, disusul Krasnoyarsk, Russia, dengan 181, kemudian Lahore, Pakistan sebesar 157. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Banyak faktor mempengaruhi kondisi udara Jakarta yang tak membaik pada masa libur Lebaran 2019 mulai dari gabungan polutan kendaraan bermotor, pembakaran biomassa panen di pantau utara Jawa, debu musim kemarau hingga PLTU batu bara.

“Jika dianalisa berdasarkan wind rose (arah angin), wind speed (kecepatan angin), temperatur, kelembaban; memang memungkinkan berbagai polutan dari sebelah timur dan tenggara,” kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin di Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut ia menjelaskan polutan yang dimaksud berasal dari gas buang kendaraan untuk aktivitas warga berlebaran, pembakaran biomassa atau jerami dari panen padi di wilayah pantura, Jawa Barat, dan debu kemarau di Jakarta maupun yang berasal dari sebelah timur dan tenggara Ibu Kota.

Debu kemarau yang ia maksud tersebut bisa berasal dari debu pembangunan maupun industri dan lainnya. “Karena efek kering kemarau maka jumlahnya semakin banyak yang beterbangan (total suspended particulate)”.

Ia merinci sumber pencemaran di Jakarta maupun di pantai utara Jawa tidak hanya kendaraan bermotor (menyumbang pencemaran 44 persen), tetapi ada juga PLTU batu bara (14 persen), pembakaran di proses industri (19 persen), pembakaran biomassa dan sampah (13 persen), debu jalanan (5 persen), proses konstruksi (2 persen), rumah tangga (3 persen).

Sebelumnya Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago mengatakan sudah empat tahun terakhir mengamati fenomena kondisi udara saat Lebaran, sehingga cukup hafal.

Jika dibuat hasil pemantauan kondisi udara Jakarta per jam, maka terlihat grafik untuk konsentrasi partikel udara berukuran kurang dari 10 mikron (PM10) dan yang lebih kecil dari 2,5 mikron (PM2.5) akan lebih tinggi setelah Shalat Id. Grafik baru akan turun setelah siang atau sore hari, kata Dasrul.

Grafik konsentrasi PM2.5 dari hasil Air Quality Monitoring System (AQMS ) yang dimiliki KLHK, pada Senin (3/6), tercatat 44,7 mikrogram per meter kubik (μg/m3).

Sedangkan pada Selasa (4/6), atau satu hari sebelum Lebaran 2019 mencapai 70,8 μg/m3. Angka tersebut melewati bakumutu PM2.5 yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999, yakni sebesar 65 μg/m3.

Pada Rabu (5/6), atau H1, grafik konsentrasi PM2.5 ada di angka 37,5 μg/m3. Kondisi tersebut terus menurun pada Kamis (6/6) yang mencapai 27,2 μg/m3, sedangkan pada Jumat (7/6) menjadi 26,6 μg/m3.

Sedangkan berdasarkan dari AQMS Kedubes AS di Jakarta Pusat terpantau pada Sabtu (8/6), grafik konsentrasi PM2.5 meningkat menjadi 32,71 μg/m3. Dan pada Minggu (9/6) kembali meningkat menjadi 38,27 μg/m3.

Baca juga: Aktivitas tinggi sebabkan kualitas udara tak membaik saat Lebaran
Baca juga: KLHK: Kualitas udara di Jakarta bukan yang terburuk di Asia Tenggara
Baca juga: Greenpeace aksi pasang peringatan kualitas udara Jakarta

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019