Pameran itu akan menjadi pameran terbesar dan pertama di Asia Tenggara, juga pertama di Indonesia. Pengunjung dapat menikmati lebih dari 60 karya sang perupa dalam 40 tahun terakhir.
Mediumnya bervariasi, termasuk gambar, seni grafis, instalasi, film, dan materi arsip.
“Untuk menjadi perupa yang baik, seseorang mesti menjadi pemikir yang baik. Tetapi, jika perupa tersebut hanya memiliki pemikiran atau filosofi yang baik, ia dapat menjadi filsuf yang hebat. Namun, namanya tidak akan pernah tercatat dalam sejarah dunia seni. Karena itu, seorang perupa mesti mempunyai sebuah cara artistik untuk mempresentasikan idenya. Sebuah metode yang lepas dari konsep budaya yang normatif," kata Xu Bing dalam wawancara dengan museum MACAN.
Xu Bing, yang lahir di Chongqing, menjadi salah satu relawan pemuda yang turun ke daerah pedesaan pada masa Revolusi Kebudayaan Tiongkok pada 1970-an.
Baca juga: Gebyar Kebudayaan-Pariwisata Yogyakarta sasar delapan kota di China
Pengalaman itu memengaruhi cara Xu Bing melihat bagaimana bahasa dipakai sebagai salah satu alat politik. Pada awal 1990-an, dia beremigrasi ke New York, Amerika Serikat.
Kepindahan itu lantas membentuk fondasi perjalanan Xu Bing sebagai perupa.
Pada awal kariernya, Xu Bing mengeksplorasi dimensi budaya, bahasa, dan sistem pengetahuan tradisional. Saat tinggal di New York, dia mulai mengombinasikan elemen budaya Barat dan elemen tradisional Tiongkok, juga membahas isu antarbudaya. Sejak 2000-an, dia banyak membahas topik-topik globalisasi, tindakan memata-matai, dan berbagai problem industri.
"Xu Bing: Thought and Method" merupakan kerja sama Museum MACAN dengan UCCA Center for Contemporary Art, Beijing, China, tempat pameran ini pertama digelar pada Oktober 2018.
Baca juga: Seniman Indonesia berpameran di Nanjing
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019