Dalam studi riset yang hasilnya diterbitkan di Marine Pollution Bulletin Journal of Elsevier, para peneliti mengidentifikasi jumlah publikasi di dunia per tahun meningkat dari satu naskah pada 1978 menjadi 579 naskah tahun 2018, merefleksikan meningkatnya perhatian internasional terhadap sampah laut.
"Paper (makalah) kami kemarin yang saya share (bagi) sebenarnya me-review (meninjau) sejauh manakah riset marine debries (puing-puing di laut) telah dilakukan di Indonesia. Dan kenyataannya belum lah banyak bila dibandingkan luasan laut teritorial Indonesia yang sangat luas," kata peneliti madya Bidang Oseanografi Terapan Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Pranowo, yang terlibat dalam studi Marine debries in Indonesia: A review of research and status, kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
"Riset terkait sampah laut Indonesia juga memiliki lebih sedikit koneksi jaringan kolaborasi internasional daripada negara-negara lain dengan tingkat produksi sampah laut yang lebih rendah, meski persoalan ini bersifat lintas batas," ia melanjutkan.
Hasil studi peneliti dari KKP, Universitas Padjajaran, Universitas Raja Ali Haji Maritim dan Mantawatch International juga menunjukkan studi lebih banyak dilakukan di wilayah barat Indonesia, terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan kebanyakan fokus pada persoalan ekosistem pesisir, khususnya pantai. Riset mengenai ekosistem laut dan samudera belum banyak menurut para peneliti.
Selain itu, menurut para peneliti, studi yang menyelidiki komposisi dan distribusi sampah laut makro di Indonesia cukup dominan sedangkan penelitian yang membahas dampak dan atau mitigasi sampah laut lebih sedikit.
Para peneliti juga menyebutkan bahwa menurut studi hasil riset sampah laut di Indonesia sekitar 75 persen berupa manuskrip dari jurnal peer-review dari makalah konferensi, dan 25 persen sisanya terdiri dari literatur abu-abu atau laporan teknis dan tesis akademik.
Berdasarkan hasil analisis dari 4.752 naskah riset kolaborasi antarnegara yang diidentifikasi dari Clarivate Analytics Web of Knowledge menggunakan paket bibliometrix diketahui bahwa sebagian besar publikasi diterbitkan dalam jurnal yang berfokus pada ilmu lingkungan atau manajemen sumber daya alam, dan mengingat sifat multidisiplin, cukup mengejutkan tidak ada studi sampah laut yang dikaitkan dengan bidang-bidang seperti kesehatan, sosial ekonomi, teknik atau kebijakan.
"Saya mendengungkan ajakan riset sampah laut sejak 2015, pada World Ocean Day. Waktu ada beberapa peneliti di universitas maupun KKP dan LPNK yang sudah meneliti walau belum banyak. Baru kemudian pertengahan 2016 dan 2017 Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mulai menginisiasi kampanye dan renstra terkait penanganan sampah plastik, dan Alhamdulillah pihak LIPI mulai menyediakan dana hibah bagi yang ingin melakukan riset sampah laut di Indonesia," kata Widodo.
Menurut dia, ada pula lembaga pendanaan riset dari luar negeri yang menawarkan dana riset, namun cukup kompetitif.
Kendati demikian, kalangan pelajar sekolah menengah dan perguruan tinggi sudah mulai tertarik melakukan riset mencari teknologi untuk mengolah sampah laut menjadi sesuatu yang lebih berguna.
"Ini sinyal bagus. Semua komponen masyarakat turut serta memikirkannya," ujar dia.
Riset yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia dan luar negeri, Widodo mengatakan, antara lain ditujukan untuk mencari bahan pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan.
"Teman-teman peneliti bioteknologi di KKP juga berusaha meriset kemungkinan rumput laut dapat digunakan sebagai bahan pengganti plastik," katanya.
Namun, menurut dia, riset terkait sampah laut yang penting dan dibutuhkan secara paralel saat ini adalah yang terkait dampak negatif sampah laut, termasuk terkait akumulasi mikroplastik di organisme laut, inovasi teknologi dalam pengelolaan sampah laut agar lebih bermanfaat, serta perilaku warga terkait persoalan sampah laut.
Baca juga:
Susi: 2030 sampah plastik lebih banyak daripada ikan
Menko Kemaritiman ajak nelayan Banyuwangi jaga kebersihan laut
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019