Polisi menduga pelaku terkait kasus perdagangan orang dengan modus kawin kontrak. Apakah ini juga terkait prostitusi?
Psikolog Keluarga dan Pernikahan dari Rumah Dandelion, Nadya Pramesrani mengaitkan praktik kawin kontrak, perdagangan orang dan prostitusi, yang hulunya alasan ekonomi.
Namun, sambung dia, merujuk hasil penelitian Balitbang Kementerian Agama pada 2016, bukannya untuk memenuhi kebutuhan primer, pelaku justru berkeinginan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.
"Kebanyakan untuk kebutuhan tersier dan sekunder bahkan. Bukan untuk kebutuhan bertahan hidup. Sudah menjadi prostitusi," kata dia kepada Antara melalui sambungan telepon, Sabtu.
Lebih lanjut, merujuk pada praktik kawin kontrak di kawasan Puncak Jawa Barat, para perempuan yang terlibat kawin kontrak bahkan ada yang masih berstatus anak.
Mereka diminta lingkungan sekitar tak terkecuali orang tua mereka mencari nafkah, salah satunya melalui kawin kontrak yang sebenarnya hanya kedok perdagangan orang dan juga terkait prostitusi.
"Karena ada imbalan. Aku menemui di daerah Jawa Barat terutama Puncak. Mereka dibayar. Ketika mereka sudah dewasa, mencari uang dengan menjual diri. Makanya, prostitusi dan perdagangan manusia tidak bisa dipisahkan," papar dia.
"Kalau berbicara sistemik, sangat banyak, cukup jamak ditemui orang-orang yang sekarang berprofesi sebagai PSK, karena mereka awalnya di usia anak-anak (belum tahu tanggung jawab atau dibawah 17 tahun), mereka diperdagangkan," imbuh Nadya.
Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2016 menyimpulkan kawin kontrak sebagai prostitusi terselubung yang mengatasnamakan agama. Para pelaku dapat melakukan praktik ini untuk mendapatkan materi.
Di sisi lain, Menteri Pemberdataan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise melarang praktik kawin kontrak karena termasuk bentuk eksploitasi terhadap kaum perempuan.
Baca juga: Polda Kalbar periksa tujuh WNA diduga terkait kawin kontrak
Baca juga: Menteri PPPA larang lelang perawan dan kawin kontrak
Baca juga: MUI : nikah "online" bagian perzinahan terselubung
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019