"Pengaturan tempat pengungsian yang kurang tepat dapat meningkatkan resiko terjadinya kekerasan seksual," kata Longki Djanggola dalam sambutannya pada rapat koordinasi perlindungan perempuan dan anak dalam bencana, yang di bacakan oleh Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum, Norma Mardjanu, di Palu, Selasa.
Ia mengatakan pengaturan tenda, huntara, toilet dan kamar mandi, serta fasilitas lainnya di pengungsian yang kurang aman, dapat memancing terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, kekerasan juga dapat terjadi, kata dia, dikarenakan mekanisme distribusi bantuan yang tidak memperhatikan kelompok rentan dan lain-lain.
Longki mengatakan terkait kondisi itu dibutuhkan pendekatan multisektoral untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.
Dalam situasi bencana, resiko kekerasan berbasis gender akan meningkat disebabkan beberapa faktor, seperti sistem perlindungan sosial yang terganggu, keluarga yang terpisah, lemahnya aturan keamanan dan keselamatan khususnya pada shelter yang rentan terjadinya konflik di pengungsian.
Ia menyebut klaster perlindungan hak perempuan dan anak berbasis gender di pengungsian perlu di bentuk, untuk memastikan upaya pencegahan dan penanganan dapat di laksanakan dalam situasi bencana di pengungsian.
Klaster ini sebagai tindak lanjut dari klaster nasional yang di dalamnya terdapat delapan klaster dalam bencana meliputi, pendidikan, kesehatan, pencarian dan penyelamatan, logistik dan peralatan, pengungsian dan perlindungan, sarana dan prasarana, ekonomi, dan pemulihan dini.
Baca juga: Angka kekerasan terhadap perempuan-anak menurun
Baca juga: Komnas Perempuan: Pengungsi Nduga rentan terhadap kekerasan
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019