"Dari sisi model bisnis, kita saat ini untuk 5G belum kebelet," kata Rudiantara di gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, pelaku pasar di Indonesia saat ini belum memiliki model bisnis untuk teknologi 5G khususnya bagi sektor ritel.
Kondisi itu berbeda apabila untuk kebutuhan korporasi yang rela menambah biaya asalkan memberikan hasil yang lebih banyak.
Rudiantara menyebutkan negara-negara lain yang mengembangkan teknologi 5G di antaranya Jepang tahun 2020 karena menjadi tuan rumah Olimpiade.
Begitu juga Korea Selatan yang mengembangkan 5G diprioritaskan untuk pasar korporasi.
"5G kecepatannya bisa 20 kali lipat, mau tidak bayar lima kali dari sekarang? Kan mahal. Jadi model bisnis untuk ritelnya belum ada," katanya.
Selain belum mendesak karena model bisnis yang belum ada, frekuensi untuk 5G yang ideal menggunakan 3,5 giga yang masih digunakan oleh satelit.
"Bisa dua opsi, menunggu satelit selesai atau kami selenggarakan kalau kebelet-nya sudah pasti, kami bisa implementasikan menggunakan frekuensi 3,5 giga tetapi di daerah yang tidak dijangkau satelit," katanya.
"Perang" dagang Amerika Serikat dan China masih berlanjut dengan adanya "perang" teknologi setelah perusahaan dari Tiongkok, Huawei meluncurkan 5G.
Baca juga: Huawei teken kesepakatan pengembangan 5G di Rusia
Baca juga: India akan lakukan uji coba 5G dalam 100 hari
Baca juga: Spanyol dukung komersialisasi jaringan 5G Vodafone bersama Huawei
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019