Brandon yang jadi bintang tamu turnamen Pokemon Go di Serpong, Tangerang, Sabtu (22/6), mengungkapkan pengalaman nekat menceburkan diri ke laut untuk menangkap Pokemon, alasannya masih setia bermain hingga perasaannya jadi nomor satu.
Baca juga: Kecanduan game dinyatakan penyakit, ini kata gamer kelas dunia
Kapan mulai main Pokemon Go?
Pokemon Go rilis di Amerika Serikat Juli 2016, di Singapura Agustus 2016. Saya awalnya tidak mau main, tapi temen game dari Clash of Clans yang menantang buat main, mereka terus mendorong saya agar main. Bahkan ada yang bilang, "Memang kamu tidak mau jadi nomor satu di posisi yang belum pernah diraih siapa pun?".
Saya bilang, kalau saya main Pokemon Go, nanti saya berhenti main game lain, dan itu memang terjadi. Ya itu awalnya mengapa saya main Pokemon Go, setelah disuruh teman-teman untuk mencobanya.
Mengapa masih setia bermain?
Saat awal bermain, saya memang biasanya langsung larut dan berusaha sekeras mungkin, apalagi di game yang pemainnya harus mendapatkan XP (Experience Point). Di Pokemon Go, katanya sulit sekali mencapai level maksimal, level 40. Banyak yang butuh waktu setahun untuk mencapainya.
Setelah saya hitung-hitung, saya bisa mendapatkan sekitar 300.000 XP dalam sehari. Kita harus mendapat 20 juta XP untuk mencapai level 40, jadi saya hanya butuh kurang dari 80 hari untuk mencapai itu.
Saya bisa mencapai level 40 dalam kurang dari tiga bulan, kata orang sih itu cepat. Setelah level 40, saya membantu 20 orang untuk menaikkan level mereka dan akhirnya mengembangkan komunitas di Singapura.
Itu menjadi motivasi, membangun komunitas dan membantu orang-orang. Sekarang ketika bermain fokus saya bukan pada meraih XP, tapi fokus pada komunitas dan mendapat teman baru. Sama seperti komunitas di Indonesia seperti Club 40 Indonesia. Ada banyak yang berhenti main Pokemon Go karena menunggu fitur seperti Player Versus Player, makanya sekarang banyak yang kembali bermain karena fiturnya sudah ada.
Pakai gadget apa?
Pakai Ipad Mini, itu favorit saya untuk bermain apalagi saat sedang berkendara. Di Singapura kita bisa main saat berkendara asal gawainya tidak dipegang. Pakai Ipad Mini lebih cocok dari segi ukuran dan berat. Saat di mobil, layar Ipad Mini lebih nyaman dan lebar untuk melihat Pokemon, tidak sekecil layar iPhone.
Pengalaman seru?
Banyak pengalaman seru yang saya rasakan. Salah satunya berenang demi pokemon. Tahun 2017, saya sedang mencari monster Lapras di pantai Changi pukul 2 pagi bersama teman. Saya lihat di peta ada Lapras dan saya pikir bisa mendapatkannya di pantai, tapi ternyata itu ada di bagian air, kira-kira 80 meter (dari pantai).
Kami melihat ada kano di situ, tapi kami tidak mau mencurinya, jadi kami memutuskan untuk berenang. Akhirnya kami kembali... dengan dua handphone yang rusak (tertawa).
Pokemon favorit?
98 persen Kyogre Shiny, monster tipe air legendaris di Pokemon. Sebenarnya saya ingin dapat yang 100 persen, tapi ya dapatnya yang itu.
Sebenarnya banyak yang saya suka tangkap, termasuk burung kecil Pidgey karena itu monster yang paling bagus buat menaikkan XP.
Tanggapanmu tentang pemain game pakai cheat?
Buat saya tidak masalah bagaimana cara mau main game asalkan kau mendapat kesenangan. Niantic (pengembang Pokemon Go) memang tegas pada pemain yang misalnya memakai dua akun (contoh melakukan kecurangan) tapi pada akhirnya itu adalah permainan, kalau tidak menyenangkan ya tidak usah bermain.
Perasaan jadi nomor satu?
Januari 2017, saya dan tim mengetahui bahwa saya berhasil melampaui pemain nomor satu dunia dari Jepang. Saat itu banyak orang menyebut saya nomor satu di dunia dari segi jumlah XP, pada aspek lain sepert Player VS Player sih saya bukan yang terbaik. Rasanya normal saja karena saya pernah nomor satu di game lain, yang penting saya menikmati permainan. Ini bukan masalah nomor satu, tapi menikmati game bersama teman dan orang-orang lain.
Baca juga: Baru main Pokemon Go? Ini kiat dari pemain terbaik dunia
Baca juga: Game Pokemon baru akan rilis 2020, fokus pada "tidur"
Baca juga: Pokemon GO kini dapat hitung langkah layaknya smartwatch
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019