Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa panitia seleksi calon pimpinan (pansel capim) KPK tidak punya kewajiban untuk memilih kandidat berasal dari salah satu institusi penegak hukum tertentu baik dari Polri maupun Kejaksaan Agung.Tidak ada kewajiban dalam peraturan perundang-undangan manapun yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK mesti berasal dari instansi penegak hukum tertentu. Isu ini rasanya selalu mengemuka tiap kali komisioner lembaga anti rasuah itu akan berganti
"Tidak ada kewajiban dalam peraturan perundang-undangan manapun yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK mesti berasal dari instansi penegak hukum tertentu. Isu ini rasanya selalu mengemuka tiap kali komisioner lembaga anti rasuah itu akan berganti," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pernyatan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Saat ini 9 orang pansel capim KPK sedang mencari capim KPK periode 2019-2023. Pendaftaran dibuka mulai 17 Juni hingga 4 Juli 2019.
Hingga Jumat (21/6), sudah ada 22 orang yang berasal dari latar belakang advokat, Polri, PNS, pensiunan jaksa, dosen dan lainnya yang mengirimkan aplikasi lamaran untuk menjadi capim KPK.
"Hal Ini harus direspon dengan serius, karena bagaimanapun rekam jejak para penegak hukum juga tidak terlalu baik di mata publik dalam konteks pemberantasan korupsi," tambah Kurnia.
Menurut Kurnia, Lembaga Survei Indonesia pada akhir 2018 merilis data bahwa lembaga yang paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi adalah Kepolisian. Selain itu untuk Kejaksaan berada di urutan bawah dalam hal tingkat kepercayaan publik.
"Maka dari itu seharusnya Kapolri serta Jaksa Agung menjadikan hal ini sebagai prioritas, bukan justru berbondong-bondong mengirimkan wakil terbaiknya untuk menjadi pimpinan KPK," ungkap Kurnia.
Selain itu kinerja dari beberapa wakil Kepolisian di KPK pun tidak terlalu memuaskan, bahkan dapat dikatakan mengecewakan. Contohnya pada kasus mantan Direktur Penyidikan Aris Budiman yang tiba-tiba mendatangi Panitia Angket bentukan DPR, padahal saat itu yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari Pimpinan KPK.
Masih ada contoh mantan penyidik KPK Roland dan Harun yang diduga merusak barang bukti perkara korupsi yang sedang ditangani oleh KPK dan Deputi Penindakan KPK Firli diketahui bertemu dengan salah satu kepala daerah yang diduga terlibat dalam sebuah kasus yang sedang dalam tahap penyelidikan di lembaga anti rasuah itu.
Belakangan beredar salinan surat Kapolri nomor B/722/VI/KEP/2019/SSDM tertanggal 19 Juni 2019 yang ditandatangani Asisten bidang SDM (As SDM) Kapolri Irjen Eko Indra Heri yang membuat 9 nama perwira tinggi Polri yang akan mengikuti seleksi capim KPK.
Sembilan nama tersebut adalah Wakabreskrim Polri Irjen Antam Novambar, Pati Polri penugasan di BSSN Irjen Dharma Pongkerum, Widyaiswara Utama Sespim Lemdiklat Polri Irjen Coki Manurung, Analis Kebijakan Utama bidang Polair Baharkam Polri Irjen Abdul Gofur, Pati Polri penugasan Kemenaker RI Brigjen Muhammad Iswandi Hari.
Kemudian Widyaiswara Madya Sespim Lemdiklat Polri Brigjen Bambang Sri Herwanto, Karo Sunluhkum Divisi Hukum Polri Brigjen Agung Makbul, Analis Kebijakan Utama bidang Bindiklat Lemdiklat Polri Brigjen Juansih dan Wakapolda Kalbar Brigjen Sri Handayani.
"Atas dasar itu rasanya menjadi tepat untuk menolak keberadaan unsur penegak hukum tertentu menduduki jabatan tertinggi di KPK. Sederhananya, bagaimana publik akan percaya jika kelak ia menjadi pimpinan KPK akan serius memberantas korupsi ketika salah satu pelaku berasal dari lembaganya terdahulu?" ungkap Kurnia.
Apalagi saat ini KPK sedang menangani kasus korupsi dengan skala politik dan nilai kerugian negara yang sangat besar. Maka pansel mempunyai kewajiban agar pimpinan KPK ke depan tidak berupaya untuk menghambat penanganan beberapa kasus tersebut.
Baca juga: Sudah 22 orang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK
Baca juga: Wakabareskrim Polri masuk bursa Capim KPK
Baca juga: Pansel KPK cari pimpinan yang terampil tata kelola organisasi
"Ambil contoh saja pada kasus korupsi KTP-El. Dalam dakwaan Jaksa KPK untuk Irman dan Sugiharto disebutkan secara jelas adanya keterlibatan serta aliran dana ke puluhan politisi. KPK juga sedang menangani kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mana diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun," ungkap Kurnia.
Kurnia juga menegaskan agar setiap orang yang mendaftar sebagai pimpinan KPK harus mundur dari institusinya terdahulu.
"Ini penting, mengingat Pasal 3 UU KPK telah secara gamblang menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal ini sekaligus menghindari potensi loyalitas ganda ketika memimpin lembaga anti korupsi itu," tegas Kurnia.
Namun berbeda dengan pendapat ICW tersebut, Ketua Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Perwakilan KPK Asri Irawan menyatakan bahwa di negara mana pun Jaksa Penuntut Umum merupakan "standing magistrate" sebagai pengendali penanganan perkara.
"Sehingga eksistensi jaksa sebagai salah satu unsur pimpinan di KPK sangat penting terkait teknis penanganan perkara di KPK. KPK adalah milik kita semua, bukan milik sekelompok orang. Siapa pun memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai salah satu unsur pimpinan KPK," kata Ketua PJI perwakilan KPK Asri Irawan.
Ia berharap tidak terulang lagi proses seleksi tanpa keterwakilan pimpinan dari unsur jaksa yang memiliki kemampuan teknis penanganan perkara.
"Karena masalah teknis penanganan perkara tidak dapat diselesaikan hanya dengan kajian dialektika teori dan filosofis hukum semata," tambah Asri.
Namun ia mengaku tidak akan mengajukan nama-nama jaksa yang memiliki integritas dan kompetensi keilmuan hukum dan teknis untuk dapat mengikuti seleksi pimpinan KPK.
"Kami melakukan hal itu untuk menjaga profesionalisme sebagai jaksa KPK yang independen selama kurang lebih 15 tahun berdirinya KPK kami telah menorehkan tinta emas sejarah panjang dalam mendukung tugas-tugas rekan yang lain di KPK serta senantiasa menjaga profesionalisme kami sebagai Jaksa Penuntut Umum KPK," kata Asri.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019