"Dulunya, sekitar November 2018, anak-anak SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi sama sekali tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora," katanya dalam rilis yang diterima Antara di Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Lagu Indonesia Raya pun, kata dia, tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6, paling fatal lagi Pancasila tidak bisa dihafalkan sama sekali.
"Saya menangis pertama kalinya mau dibawa kemana nasib anak-anak ini? Mau salahkan siapa? Kondisi sekolah yang terbatas dengan segala fasilitasnya. Ruangan kelas cuma tiga, sehingga anak-anak yang belajar harus bercampur," katanya.
"Atau karena kurangnya tenaga pendidik? Atau karena malasnya pendidik turun tinggal di daerah sejuta rawa dan ikan betik itu? Yang pasti bukan salah anak didik saya. Hal kecil tapi sangat miris ketika di dengar," sambungnya.
Baca juga: Tingkat kesejahteraan guru di pedalaman Papua masih rendah
Namun, hal itu ungkap dia, telah berbeda setelah anak-anak di SD Inpres Kaibusane mendapatkan perhatian soal pendidikan.
Sebagai seorang guru, Diana mengaku bersama rekan-rekannya menyiapkan perpustakan mini dengan jumlah buku sebanyak 500 buku untuk dibaca setiap pukul 16.00 WIT.
"Beda dengan sekarang semenjak Februari 2019, anak-anak didik saya mengalami banyak perubahan. Mereka punya mimpi yang sangat besar," kata alumnus Universitas Nusa Cendana itu.
Dalam curahan hati para anak didiknya, Diana mengatakan banyak hal yang disampaikan. Misalnya mulai bosan dengan kehidupan kesehariannya, ingin tidur di kasur yang empuk, naik mobil dan ingin rasakan terbang naik pesawat seperti pada pejabat di Jakarta.
Baca juga: Sekolah penerbangan akan beroperasi di Biak
"Mereka berkata,...Ibu sa su capai ka begini terus, saya mau naik pesawat kayak bapak-bapak dorang di Jakarta sana. Naik mobil mewah, sa tra pernah naik mobil Ibu guru? Sa mau tidur di atas spon, sa mau minum air bersih, sa mau jadi orang hebat ibu...," katanya mengutip curahan hati para muridnya.
Dengan niat ingin mengubah nasib mereka, Diana mengaku memacu motivasi anak didiknya untuk giat belajar walau kadang dengan segala keterbatasan buku yang dimiliki, tetapi harus tetap latihan membaca dan menulis.
"Mereka mau lakukan semuanya sebab mereka mulai paham pendidikan itu merupakan pedoman menuju kehidupan yang layak. Mereka tidak lagi ke hutan. Kami guru bersikeras berkata kepada orang tua agar tidak mengajak anaknya untuk meramu di hutan," katanya.
Baca juga: Pemerintah hidupkan 7 sekolah mati di Papua
Kini, kata dia, semua lagu nasional sudah bisa dinyanyikan, bahkan bahasa Inggris ajaran dasar pun sudah bisa mereka sebutkan dan pahami maksudnya.
"Saya percaya ketika seorang guru bekerja dengan niat baik, leluhur dan nenek moyang orang Papua merestui bahkan Tuhan melihat semua ketulusan kita maka diberkati semua usaha kita, walau kadang banyak yg berkata, 'kalian bertahan? Kalau bukan kita siapa lagi?," katanya.
Diana berharap adanya perhatian lebih soal pendidikan di pedalaman Papua oleh pemerintah daerah, provinsi dan pusat, sehingga anak-anak yang berada di ujung timur Indonesia itu bisa berdiri sejajar dengan saudara lainnya di nusantara.
"Saya Papua, Saya Indonesia. Begitu kata anak didik saya yang bermimpi suatu saat nanti seiring matahari terbit di ufuk timur ini, mereka yang kulitnya hitam dan rambutnya keriting bisa menjadi orang nomor 1," katanya.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019