• Beranda
  • Berita
  • Menanti kebijakan pemerintah pulihkan korban pascabencana Sulteng

Menanti kebijakan pemerintah pulihkan korban pascabencana Sulteng

29 Juni 2019 12:21 WIB
Menanti kebijakan pemerintah pulihkan korban pascabencana Sulteng
Pekerja menyelesaikan pembangunan Hunian tetap bantuan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Kelurahan Tondo, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (17/2). Ribuan unit Huntap akan dibangun di atas lahan yang disediakan oleh Pemerintah Kota Palu tersebut, diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana alam gempa dan tsunami (ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH)
Tiga bulan ke depan, tepatnya 28 September 2019, genap satu tahun perisitiwa gempa tsunami dan likuefaksi yang menghantam Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan sebagian Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Juni 2019 atau sembilan bulan pascabencana 28 September 2018 lalu, pemulihan untuk menuju kesejahteraan, kebangkitan korban pascabencana itu masih jauh dari harapan pemerintah.

Pascabencana itu, pejabat, mulai dari tingkat pusat dan dari berbagai daerah datang ke Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, meninjau wilayah terdampak, melihat langsung kondisi daerah terdampak dan masyarakat.

Belasungkawa dan perhatian atas bencana alam yang menelan ribuan korban jiwa meninggal dunia, turut menjadi perhatian manusia dari berbagai negara di belahan dunia.

Saat bencana itu melanda, tidak banyak yang bisa di lakukan masyarakat utamanya mereka yang terdampak langsung gempa 7,4 SR disertai gelombang pergeseran tanah dan tsunami, selain menyampaikan harapan kepada setiap pejabat yang datang melihat kondisi mereka.

Karena kehilangan tempat tinggal, lahan, keluarga, sanak saudara, harta benda, pekerjaan, serta lainnya yang menyangkut penghidupan dan kebutuhan dasar, sangat berpengaruh terhadap psikologi korban dan masa depan mereka yang terdampak. Tidak ada tempat lain, selain berharap intervensi pemerintah.

Atas kondisi itu, pemerintah kemudian melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan berbagai pihak ikut membantu menyuplai kebutuhan dasar untuk korban, seperti tenda, hunian sementara, selimut, sembako dan sebagainya.

Pemerintah melibatkan Kementerian PUPR untuk membangun hunian sementara. Kementerian PUPR ditugasi membangun 699 unit huntara dengan total bilik sebanyak 8.388 bilik untuk korban bencana Sulteng. Setiap unit huntara terdiri atas 12 bilik dimana setiap bilik berukuran 18 meter persegi itu akan dihuni satu keluarga. Huntara-huntara ini dilengkapi dengan sarana MCK, air, listrik, halaman parkir, dan fasilitas umum lainnya.

Di tengah upaya memulihkan korban, masalah lain datang. Dimana, huntara di segel oleh pihak kontraktor yang membuat korban tidak dapat menghuni huntara, hal itu terjadi sejak April hingga Juni 2019.

"Ya benar. Semua huntara yang sudah dibangun memang belum ada yang dibayar, akibatnya ada di antara kontraktor lokal yang kesulitan cash-flow (arus kas) untuk menyelesaikan pekerjaannya," kata Arie Setiadi Murwono, Kepala Satuan Tugas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk Penanganan Bencana Alam Palu-Sigi-Donggala-Parigi Moutong di Sulawesi Tengah.

Didampingi Kepala Balai Wilayah Prasarana Permukiman Sulawesi Tengah Ferdi Kana Lo, Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi Tengah Yusuf Tambing dan Kepala Satuan Kerja Perencanaan Balai Pelaksana Jalan Nasional XIV Slamet serta staf khusus Menteri PUPR Bidang Komunikasi Rudy Novrianto, Arie menjelaskan satuan tugasnya mendapat tugas dari pemerintah untuk membangun 699 unit huntara bagi korban bencana yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.

Namun, menurut dia, jumlah huntara yang selesai baru 626 unit dan 73 unit sisanya ditargetkan rampung sebelum 24 April 2019.

Data dari Pemerintah Kota Palu mencatat akibat terhambatnya pembangunan huntara sekitar 20.000 warga kini masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.

Semula, kata Arie, pembangunan huntara tersebut akan dikerjakan oleh badan usaha milik negara dalam lingkup Kementerian PUPR seperti PT Pembangunan Perumahan, PT. Wijaya Karya, PT Hutama Karya dan yang lainnya.

Karena pertimbangan pentingnya melibatkan kontraktor lokal, pekerjaan pembangunan huntara diserahkan kepada kontraktor lokal melalui Gapensi Sulawesi Tengah. Tetapi dalam perkembangannya, pembayaran proyek yang bersumber dari dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terlambat dicairkan.

"Kami sudah mengusulkan pembayaran tahap pertama pada Desember 2018, namun saat itu tidak keburu dibayar karena sudah di penghujung tahun anggaran. Kami kemudian diminta mengusulkan lagi pada Januari 2019, namun sampai saat ini belum ada pencairan karena penetapan pejabat-pejabat berwenang seperti PPK (pejabat pembuat komitmen) dan lain-lain baru tuntas pada Februari 2019," ujarnya.

Kendati demikian, Arie yakin masalah pembangunan huntara akan selesai sebelum masa transisi II tanggap darurat bencana selesai pada 24 April 2019.

Kini sebagian besar korban gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu, Donggala dan Sigi telah beraktivitas di huntara, namun sebagian masih berada di tenda menanti  perhatian pemerintah untuk kelanjutan nasib mereka.

Bangun Huntap

Tiga daerah di Sulteng meliputi Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Sigi merupakan daerah paling parah terdampak gempa, tsunami dan likuefaksi 28 September 2018.

Sebagai upaya pemulihan, pemerintah dengan berbagai pihak mulai melangsungkan pembangunan hunian sementara. Untuk Kota Palu, sekitar 1.500 unit yang di bangun pada tahap pertama di dua daerah shelter pengungsian yakni Kelurahan Tondo sebanyak 1.000 unit dan Kelurahan Duyu sebanyak 5.000 unit.

Pembangunan itu telah di langsungkan di tandai dengan peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, Hidayat Lamakarate pada Senin 4 Maret 2019. Huntap itu merupakan bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
"
Huntap ini cukup layak untuk sebuah hunian. Kita memberikan bantuan berupa sesuatu yang layak," kata Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Sugianto Kusuma.

​​​​​​​Huntap yang di bangun persis rumah tipe 36 dengan luas lahan 150 meter persegi/kepala keluarga. Di bangun di atas lahan seluas kurang lebih 40 hentare area. Anggaran yang di gunakan untuk per unit senilai Rp 50 Juta.

​​​​​​​Sugianto memastikan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia akan melibatkan warga Kota Palu terutama pengungsi korban bencana dalam pengerjaan 1.000 huntap. Pelibatan warga Kota Palu khususnya pengungsi korban bencana yang kehilangan tempat tinggal dilakukan sebagai salah satu cara memulihkan kondisi perekonomian seluruh korban terutama yang kehilangan harta benda, mata pencaharian dan modal usaha.

"Kami upayakan melibatkan semua korban untuk mengerjakan huntap ini. Korban bencana boleh bekerja di sini. Sehari kita gaji Rp150 ribu," ucapnya.

Ia menjelaskan dana yang dikucurkan untuk pembangunan tiap 1.000 unit huntap tersebut tidak kurang dari Rp100 miliar dan ditargetkan rampung dalam enam bulan ke depan.

Sementara Wali Kota Palu, Hidayat mengemukakan total huntap yang akan di bangun untuk korban gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu sebanyak 2.500 unit, terdiri dari bantuan 2.000 unit huntap dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan 500 unit dari Wali kota se-Indonesia.

Bupati Sigi Irwan Lapatta berharap bantuan 3.000 unit hunian tetap (huntap) dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia tidak semua diberikan untuk pengungsi korban bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu.

"Minimal 1.500 diberikan kepada kami. Jangan diberikan untuk Kota Palu semua," harap Irwan.

Sebab kata dia, pengungsi korban bencana gempa dan likuefaksi bukan hanya di Kota Palu dan Kabupaten Donggala saja, di Kabupaten Sigi pun mencapai ribuan pengungsi yang kehilangan tempat tinggal.

Hak Keperdataan

Calon Presiden dan Wakil Presiden 01, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin di harap melanjutkan penyelesaian masalah yang masih tersisa terkait upaya pemulihan pascabencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang menimpa Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala pada 28 September 2018.

"Pada periode ke dua ini, sangat di harapkan menyelesaikan masalah yang masih tersisa khususnya terkait pembangunan Sulawesi Tengah pascabencana," ucap Anggota Komisi VII DPR-RI Ahmad M Ali.

Ada dua hal penting yang, menurutnya perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng. Pertama, sebut dia, mengenai hak keperdataan masyarakat. Negara, kata dia, harus hadir dan menjamin bahwa setiap negara berhak mendapat dan memperoleh hak keperdataannya walaupun dalam situasi darurat bencana.

"Rekonstruksi dan rehabilitasi yang di selenggarakan, perlu memperhatikan hak-hak keperdataan masyarakat. Silahkan membangun huntara dan hunian tetap, namun jangan sampingkan hak keperdataan masyarakat," kata Ahmad M Ali.

Kedua, kata dia, berkaitan dengan pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah.

"Ini juga butuh kehadiran pemerintah, butuh intervensi pemerintah. Olehnya sangat di harapkan pada periode kedua, masalah-masalah tersebut bisa terselesaikan," sebutnya.

Untuk memulihkan Sulawesi Tengah pascabencana gempa, tsunami dan likuefaksi, Presiden Jokowi telah mengeluarkan kebijakan lewat Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah.

Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah tidak mencabut hak perdata masyarakat atas kepemilikan tanah pribadi di bekas likuefaksi.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Presly Tampubolon, di Palu, Jumat mengatakan, belum ada aturan mengatur tentang hal itu, maka masyarakat masih memiliki hak keperdataan atas lahan mereka.
"
Belum ada konsep pemerintah mengganti tanah atau pembiayaan ganti rugi tanah masyarakat terlanda bencana baik bekas tsunami maupun likuefaksi, sehingga masyarakat masih memiliki hak," kata Presly.

Sejumlah lokasi pembangunan huntap untuk penyintas sudah ditetapkan diantaranya Kelurahan Tondo dan Talise, Kecamata Ulujadi seluas 1.165,67 hektare serta Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga seluas 79,3 hektare.

Sementara, penambahan lokasi pembangunan huntap di Kelurahan Petobo seluas 333 hektare, Kelurahan Balaroa seluas 36,7 hektare dan saat ini masih dalam proses penetapan. Secara keseluruhan, total ketersediaan lahan di Kota Palu seluas 1.614,65 hektare dengan kebutuhan hunian sebanyak 7.000 unit.
Seorang warga mengambil air bersih pada sumur bor bantuan Kementerian ESDM di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (12/2/2019). Keberadaan sumur bor itu membantu masyarakat untuk mendapatkan air bersih dan berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga tahun 2018 sebanyak 2.290 unit sumur bor telah dibangun di seluruh wilayah Indonesia dan dapat melayani kebutuhan air bersih 6,6 juta jiwa penduduk Indonesia. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah. (ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH)
 
Korban ge,pa dan likuefaksi Petobo beraktivitas di hunian sementara yang di bangun oleh pemerintah melibatkan PUPR (ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH)


Baca juga: Legislator: segera bangun huntap korban bencana Sulteng

Baca juga: Baru 1.600 formulir pendaftaran relokasi diisi pengungsi Palu
​​​​​​​

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019