• Beranda
  • Berita
  • Merawat generasi, konsekuensi pesatnya laju industri

Merawat generasi, konsekuensi pesatnya laju industri

1 Juli 2019 01:55 WIB
Merawat generasi, konsekuensi pesatnya laju industri
Ilustrasi - aktivis Greenpeace menunjukkan data kualitas udara di sejumlah daerah di Indonesia (ANTARA/Zuhdiar Laeis)

Pembangunan industri penting dibatasi, pemda harus melihat kebutuhan masyarakat seperti apa..

Jalur Tol Trans Jawa, menjadi salah satu bukti kesuksesan proyek infrastruktur Presiden Joko Widodo dalam periode lima tahun kepemimpinannya, 2014-2019, bersama Wakil Presiden M Jusuf Kalla.

Bahkan, jalur tol sepanjang 965 kilometer yang menghubungkan kota-kota besar di Jawa, utamanya Jakarta-Surabaya telah sukses dimanfaatkan masyarakat pada mudik Lebaran tahun ini.

Banyak pujian diberikan atas kesuksesan proyek infrastruktur itu, tetapi tak sedikit pula yang khawatir melihat dampaknya ke depan, terutama pengaruh emisi, polusi, dan daya dukung lingkungan.

Seperti kekhawatiran terhadap dampak polusi yang ditimbulkan dari akses tol Trans Jawa yang disampaikan Researcher-toxic Program Officer BaliFokus/Nexus3, Sonia Buftheim

Polusi yang dimaksudkan bukan saja berasal dari kendaraan bermotor yang melintas, melainkan industri-industri yang akan bertumbuh di sepanjang jalur tol sebagai konsekuensi logis.

Keberadaan tol Trans Jawa, dikatakan Sonia, pasti akan memancing pertumbuhan pusat-pusat industri di daerah seiring dengan kian lancarnya akses transportasi.

"Tetapi, apakah pernah dikaji dampak polusi yang ditimbulkan jika industri-industri baru ini bermunculan? Dampak kesehatan bagi masyarakat seperti apa?" ujarnya.

Belum ada industri saja, Sonia mengatakan masyarakat di kawasan yang dilalui jalur tol Trans Jawa pun sudah terkena dampak dari paparan emisi kendaraan bermotor.

Sebagai contoh, Jakarta kini memiliki tidak kurang 1.300 industri berbagai sektor yang menyumbang semakin buruknya kualitas udara di Ibu Kota.

Data kualitas udara di Jakarta pada H-1 sebelum Lebaran (4 Juni 2019) menunjukkan tingkat partikel polusi PM2.5 harian mencapai 70,8 mikrogram per meter kubik (μg/m3), melebihi baku mutu udara nasional sebesar 65 μg/m3.

Artinya, ditinggal mudik pun, kualitas udara di Jakarta masih tak membaik, sebagai dampak kehadiran berbagai sumber pencemar, termasuk industri dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di sekeliling Ibu Kota.

Sonia menangkap kekhawatiran yang sama jika pertumbuhan industri di sepanjang tol Trans Jawa tidak dibatasi, apalagi kehadiran industri tidak melulu berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

Emiten polusi

Pertumbuhan industri di sepanjang tol Trans Jawa yang tidak diperhitungkan secara cermat juga memengaruhi daya dukung lingkungan sekitar, kata pakar kebumian Universitas Indonesia (UI) Prof Jan Sopaheluwakan.

"Industri bagus-bagus saja. Tetapi, kalau pola pertumbuhannya masih seperti selama ini, hanya memindahkan pusat produksi dari luar ke sini, sama saja," tegasnya.

Dengan kata lain, pemerintah selama ini hanya akan terus memperbesar dan mengulangi apa yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.

Jakarta-Cikampek, kata mantan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, bisa menjadi contoh nyata bagaimana pertumbuhan industri diiringi pemekaran kota tidak bisa terhindarkan.

Jan memprediksi bahwa jalur Jakarta-Bandung-Bogor-Sukabumi akan menjadi suatu kawasan super megalopolis yang luar biasa besar, seiring tol Trans Jawa.

Jika tidak diperhitungkan, Pulau Jawa akan semakin menjadi emiten polusi, karbondioksida (CO2), demi kepentingan industri otomotif, real estate, konstruksi, dan semen.

"Dampaknya, perubahan iklim yang membuat Jawa semakin kering yang akan mengancam cadangan pangan kita. Beras (padi) itu kan boros (banyak membutuhkan) air," katanya.

Di sisi lain, daerah yang selama ini menjadi penghasil beras terbesar di Indonesia adalah di Jawa, terutama Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Jalur KA penyeimbang

Upaya pemerintah untuk mengendalikan dampak polusi tol Trans Jawa, sebenarnya bisa dilakukan dengan mengimbangi lewat pembangunan jalur kereta api (KA).

Jan mencontohkan Belanda yang telah mengatur kebijakan antara pengelolaan jalan tol dan KA sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi penyeimbang sebagai dasar menentukan kebijakan.

"Katakanlah, kalau ingin mengurangi polusi, oke, dinaikkan harga bensinnya. Tetapi, kemudian transportasi lewat KA dimudahkan dan dimurahkan, begitu," katanya.

Apalagi, transportasi berbasis rel juga tidak serta merta mendorong terjadinya pemekaran kota, sebagaimana dampak transportasi berbasis kendaraan bermotor.

Pemekaran kota hanya terjadi di sekitar stasiun. "Beda sama jalur yang berbasis mobil, bisa di sepanjang jalur itu terjadi dan tidak terkontrol," katanya.

Selama ini memang belum pernah ada yang meneliti dampak polusi seiring beroperasinya tol Trans Jawa, tetapi mestinya pemerintah sudah mengantisipasi.

Negara-negara lain, kata Koordinator Center for Environmental Disaster, Institute for Sustainabke Eart and Resource (ISER) UI itu, pun sudah mendorong transportasi yang "zero emission".

Sementara Indonesia, untuk dorongan menggunakan kendaraan yang bebas emisi saja belum terlihat, misalnya keseriusan menggarap proyek mobil listrik.

Kolaborasi pusat-daerah

Mengantisipasi pertumbuhan industri yang tak terkendali, bukan hanya mengandalkan peran pemerintah pusat, tetapi bergantung pula pada kebijakan pemerintah daerah.

Pertumbuhan industri berdampak pula terhadap terjadinya urbanisasi spontan sehingga harus diatur agar tidak melebihi daya tampung lingkungan suatu wilayah.

Untuk itu, Jan meminta pemerintah pusat dan pemda harus berkoordinasi secara masif untuk menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) secara matang dan secara konsisten mematuhinya.

"Pertumbuhan di Jawa bagian utara kan makin pesat dengan tol dan sebagainya, sementara Jawa bagian selatan masih tertinggal," katanya.

Meski demikian, pemerintah juga harus memikirkan secara matang untuk pengembangan infrastruktur di Jawa bagian selatan karena selama ini berfungsi sebagai lahan konservasi, terutama cadangan air.

Senada, Sonia mengingatkan pemda sangat berperan untuk mengontrol pertumbuhan industri di wilayahnya dengan tidak mudah mengeluarkan izin pendirian industri.

"Pembangunan industri penting dibatasi, pemda harus melihat kebutuhan masyarakat seperti apa. Intinya, izin pendirian industri memerlukan pengkajian untuk jangka panjang," ungkap Sonia.

Tentunya, persoalan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar yang harus disikapi serius Presiden Jokowi yang akan melanjutkan pemerintahan selama lima tahun ke depan bersama wakilnya, KH. Ma'ruf Amin.

Pakar pengelolaan udara dan limbah Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Enri Damanhuri menyebutkan posisi tertinggi bahan bakar paling tidak ramah lingkungan adalah batubara, disusul bahan bakar cair (BBM), dan gas.

Batubara itu dipakai pembangkit listrik, industri. Hampir semua industri, katanya, seperti tekstil menggunakan batubara karena paling murah.

Dibandingkan dampak polusi dari beroperasinya tol Trans Jawa, Enri masih lebih khawatir dengan dampak polusi dari keberadaan industri.

Meskipun di sisi lain, Enri mengakui keberadaan tol Trans Jawa juga semakin memunculkan pusat-pusat industri baru dengan semakin lancarnya akses transportasi.

Tentu semua berharap, pembangunan di segala bidang di Tanah Air, tetap memperhatikan aspek lingkungan hidup sehingga dampak polusi udara bisa dikurangi untuk kelestarian hidup manusia.

Baca juga: Pemerhati: Pohon lindungi manusia dari polusi udara
Baca juga: Transportasi publik bagian dari solusi masalah polusi udara Jakarta
Baca juga: KPBB: langit kelabu Jakarta tanda udara tidak sehat

 

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019