Sebagai ibu kota, Jakarta memang tercipta begitu kompleks dengan ragam budayanya, suku, bahasa maupun keunikan lainnya, dan kompleksitas lain yang tidak bisa dihindari Jakarta adalah mengenai persoalan pelik yang memberondongnya, salah satunya polusi udara.Transportasi publik menjadi salah satu upaya mengurangi polusi udara
Beberapa waktu belakang bermunculan cuitan di media sosial Twitter dengan tagar #setorfotopolusi yang menunjukkan Jakarta kini semakin diselimuti polusi udara.
Warganet saling menunjukkan gambar lanskap ibu kota yang diambil dari ketinggian, seperti dari pesawat, drone, atau dari gedung tinggi untuk memperlihatkan kini udara Jakarta tak lagi bersih.
Ada juga yang membandingkannya dengan kondisi ibu kota dimasa lalu, atau perbandingan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia yang kualitas udaranya masih lebih baik.
"Dan ada juga netizen yang mempertanyakan apakah ini kabut atau polusi, ya ini polusi," kata Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Ariyanu.
Data yang dimiliki Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa kualitas udara Jakarta berada di atas standar baku mutu mengacu pada United States Air Quality Index (US AQI) level, dengan menggunakan parameter baku mutu PM 2.5 atau partikel debu yang ukurannya lebih kecil dari 2,5 mikron.
Organisasi yang berfokus pada lingkungan tersebut mencatat pada 2017 "hari hijau", atau bersih dari polusi dicatat sebanyak 29 hari dan berstatus moderat atau mengarah ke polusi sebanyak 238 hari, sementara hari tidak sehatnya, terhitung sebanyak 92 hari.
Beranjak ke 2018, data hari dengan kualitas udara tidak sehat melonjak lebih dari dua kali lipat, atau tercatat lebih kurang 250 hari.
Jika merujuk standar udara sehat US AQI, maka parameter PM 2.5 harus berada di bawah 12 mikron, sementara angka tahunan polusi udara Jakarta mencapai 35 mikron, dan data itu ternyata telah melebihi dua kali lipat baku mutu udara sehat.
Dari kenyataan dan data polusi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah udara Jakarta bisa kembali bersih atau layak untuk kesehatan, lalu bagaimana cara menyaring atau membersihkannya.
"Bagaimana cara menyaring udara Jakarta? ya kita harus mengontrol sumbernya," kata Bondan.
Langkah awal
Menyaring udara Jakarta membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang, tidak bisa berubah bersih dalam sekejap mata atau semalam saja.
Langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah daerah menurut Bondan yakni mengkaji aturan terkait pengendalian kualitas udara yang sudah kedaluwarsa. Kemudian daerah harus memiliki riset emisi inventori untuk polusi udara.
"Harus punya data reguler tentang kondisi udara, dengan itu bisa mengingatkan dan menyadarkan warga serta membuat kebijakan tepat sasaran untuk mengurangi polusi," kata dia.
Memakai data tersebut pula pemerintah daerah juga bisa mengidentifikasi sumber pencemar dan menerbitkan kebijakan turunan untuk mencekik keran penyebab polusi.
"Jadi kebijakan itu berbasis riset ilmiah, sehingga hasilnya akan efektif. Kalau tidak tahu sumber polusinya, kebijakan yang dibuat bisa jadi tidak tepat sasaran dan ternyata tetap tidak bisa menekan polisi, " kata dia.
Untuk mendapatkan riset yang komprehensif dan reguler, menurut Bondan Jakarta perlu menambah peralatan pemantau kualitas udara.
Jika mengacu pada luas wilayah ibu kota yang mencapai 666 kilometer persegi, maka dibutuhkan sebanyak 66 alat pemantau kualitas udara.
Jakarta harus memulainya langkah awal penanganan polusi udara sesegera mungkin, mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh partikel polusi yang sangat kecil tersebut bisa menembus masuk ke paru-paru, jantung bahkan aliran darah.
"Tergantung kemana masuknya, karena partikelnya sangat kecil, kalau sampai ke jantung jadi penyebab penyakit jantung, ke aliran darah menjadi stroke bahkan bisa menuju otak," kata dia.
Baca juga: Berikut langkah Dinas Lingkungan Hidup DKI atasi polusi
Roadmap DKI tangani polusi
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan telah mengenali sumber pencemaran udara utama di DKI Jakarta dan telah memiliki peta jalan atau roadmap untuk mengurangi pencemaran udara.
"Kita mengetahui sumber utama di Jakarta, dari sektor transportasi. Oleh karenanya, segala upaya untuk mengendalikan sumber pencemaraan ini dilakukan dan dituangkan dalam roadmap Jakarta Cleaner Air 2030," kata Andono.
Salah satu upaya yang telah dilakukan DLH untuk mengurangi pencemaran udara yaitu melakukan uji emisi asap kendaraan bermotor.
Kemudian, membangun aplikasi perangkat telepon seluler yang dapat dimanfaatkan masyarakat mengakses informasi lokasi pelaksanaan uji emisi terdekat, sekaligus mendaftar kegiatan tersebut.
Tidak hanya itu, aplikasi yang kini ada di Google Play Store tersebut, bahkan dapat mengetahui pelat nomor kendaraan yang telah lulus uji emisi.
"Berikutnya, supaya jalan tidak macet, pemerintah mengintensifkan layanan kendaraan umum massal," ujar Andono.
Pemerintah daerah juga akan memperluas sekaligus meningkatkan layanan transportasi umum, serta mempromosikan bahan bakar yang ramah lingkungan.
Selanjutnya, rencana mempromosikan dan memperluas kawasan-kawasan car free day juga masuk dalam agenda kebijakan mengurangi polusi udara.
"Ke depan, kita akan memperluas ruang-ruang terbuka hijau di Jakarta. Jadi, ruang-ruang yang bisa ditanami akan ditanami dengan tanaman-tanaman yang bisa menyerap polutan dari udara," kata Andono.
Langkah tersebut, nantinya akan ditangani oleh Dinas Pertamanan. "Sekarang sangat komprehensif, bukan hanya satu sektor, tapi akan ada multisektor untuk Jakarta 2030," tambah dia.
Baca juga: Jakarta harus memiliki riset emisi inventori untuk polusi udara
Perbaiki transportasi publik
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperbaiki transportasi umum karena polusi udara yang semakin buruk di ibu kota.
"Kendaraan masih menjadi penyumbang terbesar polusi udara, bagaimana pemprov bisa mendorong penggunaan transportasi massal maksimal, artinya pemprov harus mampu menyediakan transportasi yang layak, nyaman bagi penggunanya," kata Gembong.
Saat ini, Gembong melihat sejumlah transportasi umum, mulai dari TransJakarta, MRT dan yang terbaru LRT memang telah menjadi andalan warga Jakarta.
Namun persoalan sebenarnya berada pada kendaraan pengumpan atau feeder yang menjadi penghubung antarmoda transportasi umum tersebut.
"Ini PR besarnya pemprov, bagaimana melakukan koneksi antarmoda transportasi, sehingga warga akan lebih mudah. Kalau itu sudah bisa dilakukan insya Allah saya yakin bahwa pemindahan warga masyarakat dari pribadi ke massal akan berjalan," kata Gembong.
Integrasi moda transportasi yang optimal akan menjadi pertimbangan warga untuk beralih tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi.
Berkurangnya pengguna kendaraan pribadi akan menekan jumlah emisi yang tercipta dari gas buang kendaraan.
Baca juga: DPRD minta Pemprov Jakarta perbaiki transportasi umum atasi polusi
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019