Maka tidak heran, banyak koperasi yang awalnya begitu menggebu-gebu ingin hijrah menggunakan sistem syariah, setelah menjalani proses selama bertahun-tahun, masih saja tidak bisa berpindah seutuhnya.
Sistem yang kemudian dipakai adalah campuran antara syariah dan konvensional sehingga muncullah istilah pendapatan non halal, meski dalam praktiknya pendapatan itu diupayakan benar untuk dipisah secara tegas dengan pendapatan halal.
Pendapatan itu misalnya dari bunga simpanan di bank yang masih konvensional, yang dalam sistem syariah sebenarnya tidak boleh. Koperasi syariah harus menggunakan bank yang juga menggunakan sistem syariah.
Namun, jika benar-benar ada keinginan untuk mengubah sistem itu dengan cepat, ternyata juga bukan hal yang mustahil. Itu dibuktikan Koperasi Pegawai Negeri (KPRI) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Achmad Mochtar Bukittinggi.
Koperasi itu berdiri 42 tahun lalu tepatnya pada Desember 1977 oleh 27 orang anggota pertama yang juga merupakan pegawai rumah sakit.
Koperasi itu adalah salah satu yang terbaik di Sumatera Barat bahkan mungkin di Indonesia. Sebagai bukti koperasi yang sekarang telah memiliki anggota sebanyak 697 orang itu, pernah menerima penghargaan Koperasi Berprestasi tingkat Nasional pada 2012 dan 2015.
Asetnya saat ini tidak main-main, Rp29,5 miliar. Hingga 2018 koperasi itu mampu menyalurkan kredit hingga Rp22 miliar pada anggotanya.
Pada posisi itu, seluruh transaksi yang dilakukan masih menggunakan pola konvensional yang menggunakan bunga. Tidak ada persoalan terkait kinerja koperasi sebenarnya. Kredit macetnya juga tidak terlalu tinggi, hanya 2,3 persen. Itupun adalah tunggakan yang lama-lama.
Hanya saja anggota merasa sudah saatnya koperasi itu untuk hijrah menggunakan pola syariah yang dinilai lebih cocok. Perasaan saat menggunakan produk koperasi juga lebih nyaman karena tidak ada lagi riba.
Keinginan untuk hijrah itu semakin mengerucut dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) 2018. Anggota berharap dengan pola itu manfaat dari koperasi tidak hanya terbatas di dunia saja, tetapi juga nanti di akhirat.
Sebelumnya telah ada juga anggota yang menyuarakan, tetapi belum menyeluruh. Mereka yang bersuara itu bahkan keluar dari koperasi karena keinginannya belum terwujud.
Baru setelah RAT 2018 itu anggota menyatakan sepakat untuk beralih sehingga pengurus segera mengambil langkah untuk mengubah pola koperasi itu.
Namun, langkah awal itu segera menemui kendala. Minimnya pemahaman tentang koperasi syariah dan bagaimana cara mengubah pola itu, membuat pengurus harus bolak-balik berkonsultasi dengan pemuka agama yang paham koperasi syariah dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di Bukittinggi.
Konsultasi itu memberikan keyakinan bahwa koperasi harus secepatnya diubah jadi pola syariah. Namun, meski keinginan bertambah menggebu, tetapi tetap terasa ada kekhawatiran yang mengganjal, bagaimana jika upaya yang mereka lakukan ternyata tidak sepenuhnya benar secara syariah.
Kesimpulannya, mereka membutuhkan tenaga profesional untuk membantu agar peralihan pola konvesional ke pola syariah itu berjalan dengan baik dan benar.
Tenaga itu kemudian "dibajak" dari salah satu bank syariah di daerah itu, yang kemudian didapuk menjadi manejer koperasi. Ia ditugaskan untuk secepatnya menjadikan koperasi itu berpola syariah dengan cara yang benar.
Manejer baru itu, Yosi Afianto bekerja hampir 14 tahun di perbankan syariah sehingga memiliki pemahaman lebih baik tentang lembaga keuangan berbasis syariah itu. Ia juga segera mengambil langkah cepat untuk mengubah koperasi konvensional untuk bisa beralih sepenuhnya pada pola syariah.
Setiap langkah dilakukan dengan teliti dan selalu berkonsultasi dengan pengurus dan pihak-pihak lain yang juga memahami koperasi syariah agar pola syariah yang diinginkan anggota itu bisa diterapkan seutuhnya.
"Formula" yang dibutuhkan itu tidak hanya harus betul secara perhitungan akuntansi, tetapi juga tepat secara syariah. Betul secara akuntansi menjaga keseimbangan, tidak merugikan anggota tetapi juga tidak membuat koperasi bangkrut.
Sementara tepat secara syariah tentu menjamin pinjaman itu tidak lagi menghasilkan pendapatan yang riba kepada koperasi.
"Menggunakan pola syariah untuk simpan pinjam sebenarnya tidak terlalu susah. Ada beberapa akad atau perjanjian yang bisa digunakan sesuai tujuan anggota meminjam. Itu jika semua dimulai dari awal, artinya seluruh komponen memang telah merujuk syariah sejak pertama berdiri," kata Yosi.
Kesulitan itu muncul untuk koperasi yang telah berdiri sangat lama, memiliki aset yang sangat besar, kucuran kredit yang juga luar biasa banyak pada anggota, serta memiliki beberapa jenis usaha, tetapi sejak awal polanya adalah konvensional.
Jika ingin mengubah koperasi jadi pola syariah, mau tidak mau semua komponen itu harus "dibersihkan", cara yang dipilih adalah mengkonversinya dari aset konvensional ke syariah.
Proses itu memang sangat pelik. Meski paham keuangan syariah, Yosi bersama pengurus butuh belasan kali rapat dan konsultasi untuk mewujudkannya. Setidaknya perlu lima bulan sehingga semua bisa dirumuskan sesuai syariat.
Maka pada Januari 2019, KPRI RSUD Acmad Mochtar akhirnya bertransformasi dari koperasi konvensional menjadi koperasi syariah setelah berjuang selama delapan bulan. Sekarang tinggal menyusun AD/ART yang sesuai dengan koperasi syariah.
Khusus untuk pinjaman anggota yang sedang berjalan, dipilihlah akad qardh wal ijarah (pokok dan besaran beban ujroh/upah) berdasarkan tiering sisa jangka waktu pembiayaan untuk metode konversi.
Margin yang diambil disepakati diturunkan sehingga jika diakumulasikan, angsuran yang harus dibayarkan anggota dengan pola syariah turun hingga Rp1 juta dari angsuran awal dalam pola konvensional.
"Jika awalnya dengan pola konvensional dalam sebulan anggota harus membayar angsuran Rp5 juta, setelah dikonversi menjadi Rp4 juta. Tapi besarannya berbeda-beda masing-masing anggota tergantung besar pinjaman dan jangka waktu yang masih tersisa," kata Yosi.
Angsuran yang turun cukup signifikan itu tidaklah bersifat mutlak. Artinya jika koperasi konvensional diubah jadi syariah tidak otomatis jumlah angsuran menurun.
Semua tergantung kesepakatan anggota dan pengurus. Bisa saja angsurannya malah lebih tinggi, jika memang disepakati. Naik atau turun angsuran itu, tetap dalam kerangka syariah. Kebetulan KPRI RSUD Achmad Mochtar sepakat menurunkan margin hingga anggota merasa lebih terbantu.
Anggota yang sudah melunasi pinjaman yang telah dikonversi itu, harus membuka akun baru jika ingin meminjam kembali. Artinya, prosesnya akan dimulai lagi dengan sistem yang benar-benar syariah.
Misalnya anggota meminjam untuk membeli sesuatu barang, akan digunakan akad murabahah atau perjanjian jual beli. Berbeda dari pola konvensional yang menetapkan bunga, akad itu menggunakan margin sekitar 0,75 persen per bulan.
Kemudian deposito menggunakan akad mudharabah, simpanan pokok dan wajib menggunakan akad wadiah (titipan).
Hanya saja, ada konsekuensi yang harus dihadapi. Perkiraan pemasukan koperasi yang hilang akibat penurunan margin itu juga cukup signifikan mencapai Rp80 juta sebulan dari awalnya sekitar Rp210 juta (kotor) menjadi Rp130 juta.
Namun "potential lost" di bidang usaha simpan pinjam itu, sedikit banyak bisa tertutupi oleh enam bidang usaha lain yang dimiliki koperasi seperti toserba dua lantai, kafe, foto copy dan pengelolaan parkir dan pengadaan makan pegawai di komplek RSUD Achmad Mochtar. Juga bidang usaha lain diantaranya properti.
"Kami kira ini sepadan. Hitung-hitung biaya untuk membersihkan semua aset koperasi dari riba," kata Ketua KPRI RSUD Achmad Mochtar, Dr. Nazdi.
Ia mengajak koperasi di Bukittinggi untuk mengikuti langkah mereka "hijrah" menggunakan sistem syariah karena jika memahaminya, banyak nilai-nilai positif yang bisa didapatkan.
Selain bebas riba, proses pengajuan pinjaman dalam sistem syariah juga melibatkan keluarga (suami/istri) serta dua orang saksi, sehingga tidak ada potensi terjadi kecurangan, istri meminjam tanpa tahu suami atau sebaliknya.
"Pinjam" manejer
Sukses peralihan KPRI RSUD Achmad Mochtar yang sangat cepat dari pola konvensional ke pola syariah diakui tidak lepas dari peran sang manejer, Yosi Afianto.
Namun, koperasi itu tidak ingin memonopoli keilmuan yang dimiliki sang manejer dan mengizinkan bahkan menyarankan agar Yosi aktif berbagi ilmu dan pengalaman dalam upaya mengubah koperasi konvensional menjadi syariah.
"Karena kami meyakini sistem ini lebih baik dari konvensional, kami berharap akan makin banyak koperasi di Sumbar yang mengikuti. Bahkan kalau bisa Sumbar menjadi rujukan koperasi syariah di Indonesia," katanya.
Hal itu bukan tidak mungkin, karena Sumbar memang terkenal dengan falsafahnya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah atau adat bersendikan agama islam.
Harapan itu masih harus diperjuangkan karena secara kebijakan Pemerintah Kota Bukittinggi belum terlalu fokus pada koperasi syariah.
Data Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan kota wisata itu, baru ada dua koperasi yang benar-benar telah menggunakan sistem syariah di daerah itu dan dua koperasi sedang menuju syariah. Jumlah itu masih sangat kecil jika dibandingkan jumlah koperasi di Bukittinggi saat ini yang mencapai 92 unit.*
Baca juga: Sejarah koperasi di Kota Serambi Makkah hingga hijrah ke Syariah
Baca juga: Menkop: koperasi syariah andil tingkatkan pertumbuhan PDB
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019