Musim kemarau yang datang lebih awal di tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya membuat pemerintah baik pusat hingga daerah harus lebih waspada dan segera tanggap dalam melakukan penanganan guna membantu kota/kabupaten yang mengalami kekeringan.Jawa Timur telah menyiapkan anggaran Rp2 milliar untuk penanganan bencana saat musim kemarau tahun ini
Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda menyebutkan kemarau biasanya baru terjadi pada bulan Juli. Namun di tahun 2019, pada bulan Juni sebagian besar wilayah di Jawa Timur telah memasuki musim kemarau.
Hal itu membuat lahan pertanian tadah hujan dan lahan yang belum terjangkau sistem irigasi mengalami kekurangan pasokan air jelang masa panen dan terancam puso.
Padahal, puncak musim kemarau diprakirakan baru terjadi pada bulan Juli-Agustus 2019. Musim kemarau ini dapat menjadi ancaman bagi tanaman padi akibat kekeringan sawah.
Kekeringan di antaranya melanda sejumlah wilayah di Jawa Timur. Di antaranya di Kabupaten Magetan, Ngawi, dan lainnya.
Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, dan Ketahanan Pangan (DTPHP-KP) Kabupaten Magetan, mencatat luas lahan pertanian yang terdampak kekeringan pada musim kemarau di wilayah setempat terus meluas sehingga membuat para petani rugi.
Kepala DTPHP-KP Magetan Eddy Suseno mengatakan total luas lahan di Magetan yang ditanami padi pada musim kemarau pertama (MK 1) mencapai 21.000 hektare.
Dari jumlah ribuan hektare tersebut, terdapat 849,2 hektare lahan pertanian yang mengalami kekeringan dan bahkan terancam puso. Jumlah itu meluas dari sebelumnya yang hanya 167 hektare.
"Jumlah itu merupakan akumulatif sejak awal musim kemarau. Kami intensif berkoordinasi dengan petugas yang ada di lapangan untuk melakukan pemantauan," ujar Eddy.
Sesuai data, pihaknya mencatat sampai dengan saat ini ada 265,5 hektare lahan pertanian yang masuk kategori kekeringan berat dan diperkirakan data tersebut terus berkembang seiring masa puncak musim kemarau.
Adapun, daerah yang paling parah terdampak kekeringan terdapat di Kabupaten Magetan wilayah selatan. Seperti Kecamatan Parang, Kawedanan, dan Ngariboyo.
Pihaknya sangat menyayangkan, karena sesuai pendataan tidak semua lahan yang terdampak kekeringan itu telah diasuransikan. Sehingga, petani tidak bisa melakukan klaim atas gagalnya panen tersebut.
"Kami masih menunggu data dari perusahaan asuransi, ada berapa petani yang telah mengajukan klaim Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)," katanya.
Eddy menambahkan, selain tanaman padi, hasil pendataan, kekeringan juga melanda lahan tanaman tebu, kedelai, dan jeruk pamelo. Areal kebun jeruk pamelo juga tergolong terdampak kekeringan yang cukup parah selain padi.
Pihaknya sudah menurunkan petugas lapangan untuk mengecek pohon jeruk yang rusak atau mati. Untuk pohon yang rusak atau mati itu, akan diganti dengan bibit yang baru.
Hanya, lanjutnya, penggantian bibit baru itu berdasarkan usulan dari kelompok tani dan disesuaikan dengan anggaran yang ada.
Guna mengatasi kekeringan di wilayah Magetan, selain mengandalkan hujan dan waduk irigasi, pemerintah daerah setempat berusaha untuk menambah pemasangan sumur pompa dalam bagi petani. Terutama di daerah yang jauh dari sistem irigasi.
"Tahun anggaran ini sesuai rencana ada penambahan empat sumur pompa yang dipasang," kata Kepala Bidang Sumber Daya Air, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Magetan, Yuli Iswahyudi.
Sesuai pemetaan, empat sumur pompa dalam tersebut akan dipasang di sejumlah daerah yang berpotensi terjadi krisis air atau irigasi untuk lahan pertanian.
Di antaranya dipasang di wilayah Tamanarum, Kecamatan Parang. Kemudian di Desa Ngentep, Sampung, dan Bogem, Kecamatan Kawedanan.
Adapun, pemasangan sumur pompa dalam tersebut telah mendasarkan pada analisis lapangan. Bahwa daerah-daerah tersebut memang membutuhkan sumur dalam, khususnya untuk keperluan pertanian.
Pemerintah juga meminta petani untuk bercocok tanam sesuai musim dengan pola padi-padi-palawija guna menghindari kerugian akibat musim kemarau.
Baca juga: Kemensos siap salurkan beras atasi kekeringan
Bantuan air
Selain lahan pertanian, kekeringan juga berdampak pada sejumlah wilayah yang mengalami krisis air bersih akibat sumber air seperti sumur warga yang mengering.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ngawi, mencatat terdapat dua desa di wilayahya yang telah meminta bantuan pengiriman air bersih akibat kekeringan sejak memasuki musim kemarau pada Mei lalu.
Dua desa di Ngawi yang megajukan bantuan air bersih adalah Desa Mantingan di Kecamatan Mantingan dan Desa Banjarbanggi, Kecamatan Pitu.
"Kedua desa tersebut sudah masuk daftar 45 desa yang diajukan BPBD Ngawi ke Pemprov Jawa Timur untuk menerima bantuan air bersih," kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Ngawi Teguh Puryadi.
BPBD Kabupaten Ngawi memetakan 45 desa di wilayah setempat rawan mengalami kekeringan pada musim kemarau tahun 2019. Jumlah desa tersebut meluas hingga 15 desa dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2018 terdapat 30 desa di Ngawi yang terdampak kekeringan, dan di tahun ini diperkirakan bertambah menjadi 45 desa. Sebanyak 15 desa yang terpetakan baru terdampak kekeringan di tahun 2019 itu tersebar di tujuh kecamatan. Paling banyak di wilayah Kecamatan Pitu, yakni empat desa.
Menghadapi puluhan desa yang masuk rawan kekeringan, BPBD Ngawi saat ini sedang menyiapkan pengiriman tangki-tangki berkapasitas 1.200 liter air ke sejumlah wilayah yang berpotensi terdampak kekeringan tersebut.
Tangki air tersebut bukan diberikan secara permanen, namun hanya pinjam pakai ketika musim kemarau berlangsung.
Sedangkan di Magetan, kekeringan telah melanda di lima desa. Yakni di Desa Trosono, Sayutan, Bungkuk di Kecamatan Parang dan dua desa lainnya di wilayah Kecamatan Karas.
Kepala Pelaksana BPBD Magetan Ari Budi menyatakan untuk mengatasi kesulitan air bersih yang dialami warga, BPBD Magetan telah melakukan pengiriman bantuan air bersih ke desa-desa krisis air. Bantuan air bersih di antaranya telah dikirim ke Desa Trosono dan Sayutan di Kecamatan Parang.
Ari Budi menambahkan, BPBD Magetan akan rutin mengirim bantuan air bersih ke desa-desa sesuai kebutuhan warga. Bagi warga yang mengalami kekeringan dan membutuhkan air bersih, bisa menghubungi BPBD dengan mengajukan surat permohonan bantuan air bersih melalui desa dan diketahui camat setempat.
Baca juga: DKI pun siaga kekeringan
Siapkan anggaran
Sesuai data Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menyiapkan anggaran Rp2 milliar untuk penanganan bencana saat musim kemarau tahun ini. Dana tersebut digunakan Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) Jawa Timur guna mengantisipasi kekeringan.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga telah menginstruksikan semua Bupati dan Wali Kota di Jawa Timur agar siaga darurat bencana kekeringan 2019.
Pemprov sendiri terus melakukan koordinasi guna mengantisipasi kemarau panjang. Pemetaan sudah dilakukan. Hasilnya, tahun 2019 jumlah desa yang mengalami kekeringan diprediksi meningkat dibanding 2018.
Seperti di Kabupaten Ngawi desa terdampak kekeringan tahun 2018 hanya 30 desa, meningkat menjadi 45 desa.
Tahun ini, diprediksi sebanyak 566 desa di Jatim berpotensi mengalami kekeringan kritis. Dari jumlah desa itu, 199 desa di antaranya sama sekali tidak memiliki sumber air.
Sejauh ini sudah ada lima Kabupaten di Jawa Timur yang telah meminta suplai air bersih untuk sejumlah desanya yang memang sudah mengalami kekeringan. Di antaranya adalah Ngawi.
Baca juga: Upaya petani Banten mengantisipasi kekeringan
Baca juga: Mewujudkan perbukitan Prambanan "zero dropping" saat kemarau
Pewarta: Louis Rika Stevani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019