Sudan ingin menjadikan Indonesia sebagai model

12 Juli 2019 21:27 WIB
Sudan ingin menjadikan Indonesia sebagai model
Duta Besar Besar Sudan untuk Indonesia Elsiddieg Abdulaziz Abdalla (kiri) bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. (Istimewa) (/)

Krisis yang berlangsung di Sudan beberapa waktu lalu sempat mendorong Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartoum menyiapkan dua "safe house" atau rumah perlindungan yang dapat dimanfaatkan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Perkembangan politik yang rentan sejak 15 April lalu juga membuat KBRI setempat juga menetapkan status siaga bagi seluruh orang Indonesia yang berada di Sudan.

Kekacauan di negara yang terletak di benua Afrika tersebut berawal pada akhir Desember 2018, ketika itu Presiden Omar Al-Bashir menerapkan kebijakan darurat yang ditujukan untuk mencegah ambruknya perekonomian Sudan. Kebijakan pemerintah berupa pemangkasan subsidi makanan dan bahan bakar  telah memicu aksi demonstrasi di Sudan timur yang kemudian merembet hingga ke Khartoum. Protes yang diserukan oleh Asosiasi Profesional Sudan ini meluas dengan salah satu tuntutannya adalah agar Presiden Bashir, yang berkuasa selama 30 tahun, mundur.

Pada 6 April lalu, aksi demonstrasi mencapai puncaknya ketika para peserta menduduki lapangan di depan markas besar angkatan bersenjata dan kementerian pertahanan yang bersebelahan.

Duta Besar Sudan untuk Indonesia DR. Elsiddieg Abdulaziz Abdalla mengatakan rakyat menyambut dengan suka cita kesepakatan yang dicapai pihak militer dan kelompok oposisi.

“Kami masih menunggu rincian dari kesepakatan yang sudah dibuat itu,” kata dia dalam wawancara dengan Antara baru-baru ini.

Indonesia jadi model

Dr. Elsiddieg mengatakan bahwa pemerintah Sudan ingin menjadikan Indonesia sebagai model mengena cara menciptakan persatuan dan kesatuan di antara banyak suku, penganut agama dan golongan yang berbeda-beda.

“Sudan ingin meminjam model yang dimiliki Indonesia karena negara kami mempunyai banyak kesamaan dan menyaksikan kehidupan yang damai dan harmonis di antara golongan-golongan yang berbeda di Indonesia,” katanya.

Dubes Elsiddieg, yang sudah bertugas lebih dari dua tahun di Indonesia mengatakan, rakyat Indonesia yang berbeda-beda mampu menjaga persatuan dan kesatuan, melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat konstruktif, tidak destruktif.

Hubungan Indonesia dan Sudan secara resmi sudah dijalin pada tahun 1960. Pada Februari 2012, saat kunjungan Menteri Luar Negeri Sudan Ali Karti ke Jakarta, kedua negara telah sepakat untuk mendorong hubungan bilateral di bidang politik, sains, pendidikan dan ekonomi. Indonesia memiliki kedutaan di Khartoum sementara Sudan memiliki kedutaan di Jakarta. Sudan dan Indonesia sama-sama memiliki populasi dengan mayoritas Muslim dan keduanya adalah anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Situasi politik dan keamanan yang tidak stabil di Sudan beberapa waktu lalu mengakibatkan perubahan politik di negara Afrika itu. Aparat keamanan bergabung dengan para demonstran, serta rakyat menuntut agar presiden Omar Al-Bashier segera lengser, dilanjutkan pembentukan dewan militer untuk mengambil alih pemerintahan pada masa transisi.

 

Eskalasi terjadi begitu cepat dan berkembang menjadi kekerasan serta kekacauan ketika sebagian demonstran memaksa menduduki markas besar militer di tengah berlangsungnya proses negosiasi antara dewan militer dengan pihak oposisi Sudan.

Militer Sudan mengambil pemerintahan di negara itu pada 11 April lalu dengan membentuk dewan militer transisi setelah penggulingan Al-Bashir yang sudah berkuasa selama lebih dari 30 tahun menyusul gelombang unjuk rasa yang kian gencar

Bentrokan terjadi dan tidak dapat dihindari yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban tewas di pihak demonstran sehingga dibutuhkan penengah untuk mengatasinya.

Para penengah itu antara lain utusan khusus Amerika Serikat yang berupaya agar Sudan segera keluar dari krisis serta menyerukan para pihak yang ada untuk bersama-sama membentuk pemerintahan transisi. Uni Afrika dan perdana menteri Ethiopia ikut turun tangan dan memimpin mediasi yang berhasil mengajak para pihak untuk kembali ke meja perundingan. Liga Arab juga turut melakukan intervensi dan kehadirannya membantu proses negosiasi.

Para penengah berhasil mendekatkan pandangan para pihak di Sudan untuk menyamakan persepsi dan menyetujui kemitraan antara partai politik dan dewan militer guna memimpin pada masa transisi selama tiga tahun dan membentuk dewan berdaulat untuk memimpin negara secara bergantian serta pemerintahan sipil yang akan mengurus negara.

Setelah itu dalam waktu dekat sebuah kesepakatan antara dewan militer dan partai politik akan ditandatangani dengan disaksikan oleh Uni Afrika, utusan AS dan Liga Arab.

Kesamaan persepsi dan pandangan dapat mewujudkan stabilitas dan ketenangan. Dalam waktu dekat nama-nama anggota dewan berdaulat yang terdiri atas lima unsur militer dan lima unsur sipil ditambah satu orang tokoh purnawirawan militer sebagai pemimpinnya, akan segera diumumkan, selain itu juga akan diumumkan nama perdana menteri untuk mengurus pemerintahan.

Kesepahaman dan kesepakatan yang dicapai itu menghentikan aksi unjuk rasa yang mengutuk dewan militer dan bahkan kini berbalik mendukung kesepakatan, dengan demikian Sudan diperkirakan menjadi lebih tenang dan damai setelah pemerintahan dan dewan berdaulat terbentuk dalam waktu dekat.

hidup tentram
Lain di Sudan lain pula di Indonesia, seperti yang dirasakan oleh Dr. Mohammad Rasyid, seorang warga Sudan yang sudah tinggal lama di Indonesia. Beberapa waktu lalu dia mengunjungi Kedutaan Besar Sudan di bilangan Kuningan untuk mengurus kepulangannya kembai ke tanah leluhurnya.

Rasyid yang mengaku sudah melawat ke banyak tempat di Indonesia dan menjadi tokoh di kalangan warga Sudan di Indonesia mengaku menemukan kedamaian di negara yang telah ditinggalinya selama lebih dari 30 tahun ini.

“Saya senang sekali berada di sini, hidup damai dan tenteram,” katanya.

Dia menempuh pendidikan di salah satu universitas di Inggris dan membagi ilmu pengetahuan di Indonesia sebagai tenaga ahli di bidang sumber daya manusia.

“Saya memilih kembali ke Sudan setelah hampir dari separuh umur saya ini saya habiskan di Indonesia karena antara lain Indonesia tidak menganut dwi kewarganegaraan,” kata Rasyid yang memiliki rumah di Khartoum, Ibu Kota Sudan.

Rasyid terkenang kembali saat dia memutuskan merantau ke Indonesia 30 tahun lalu dengan berbekal gelar doktor, waktu itu hanya berselang beberapa waktu sebelum Bashir naik ke tampuk kekuasaan.
Kini dia akan kembali ke negaranya yang sudah terbagi menjadi dua: Sudan dan Sudan Selatan, saat Bashir, mantan orang kuat itu dipaksa lengser melalui revolusi yang melanda tanah tempat kelahirannya, dan ketika negaranya sedang menyongsong stabiltas politik.

Baca juga: Dubes Sudan: Indonesia jadi model bagi Sudan ciptakan perdamaian
Baca juga: Puluhan ribu orang tuntut kekuasaan sipil di Sudan
Baca juga: Dubes Sudan kagumi gotong-royong di kalangan warga di Indonesia

 

Pewarta: Mohamad Anthoni
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019