Bahkan, sebuah media berseloroh bahwa pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT adalah singkatan dari MRT atau "mari rukun terus"... Semoga.
Namun, tokoh dibalik pertemuan keduanya justru lebih menarik ditelusuri. "Yang menjembatani ada Pak Pram, ada Pak BG, Pak Edhy Prabowo, itu orang baik semua, mereka memang bersahabat ya," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di FX Mall di Jakarta (13/7).
Penggagas atau inisiator yang dimaksud Menhub adalah Pram atau Sekretaris Kabinet Pramono Anung, BG adalah Budi Gunawan selaku Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Edhy Prabowo adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menyebutkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla justru yang mempunyai peran besar dalam pertemuan itu. "Terima kasih Pak Jusuf Kalla akhirnya pertemuan Kang Mas Joko Widodo dan Mas Prabowo Subianto bisa terjadi," katanya.
Arief mengaku dirinya dan Jusuf Kalla selalu berkomunikasi sejak 1 Mei 2019 agar apapun hasil pemilihan presiden (pilpres) bisa diterima kedua belah pihak dan mempersatukan kembali para pendukungnya. Tidak mudah dan tidak gampang mengatur dua tokoh ini bertemu walau keduanya sebenarnya mereka sangat dekat dan bersahabat.
Pascakericuhan di Bawaslu pada 21-22 Mei 2019, dirinya dan JK saling menelepon untuk mengatur pertemuan keduanya agar bisa mencairkan suasana.
Pada Jumat (12/7) pukul 10.00 pagi, dia ditelepon JK bahwa sudah saatnya Prabowo bertemu dengan Jokowi. "Pak JK tanya..Rif..Pak Prabowo dimana?.Saya bilang di Jakarta, baru dari LN. Pak JK bilang, sudah saatnya untuk dibuat pertemuan. Pak JK akan bicara pada Pak Jokowi," kata Arief.
JK pun mengusulkan agar pertemuan itu tidak perlu formal dan tidak membahas politik. "Saya katakan, ok Pak JK. Nanti Saya sampaikan juga sama Pak Prabowo tentang usulan pertemuan itu. Tapi akhirnya, happy ending, dengan adanya pertemuan Kang Mas Joko Widodo dan Mas Bowo. Kita harus salut dan berterima kasih sama Pak JK," katanya.
Artinya, pertemuan Jokowi-Prabowo sudah mempertemukan elite, namun parpol pendukung tidak terlibat sepenuhnya dalam proses terwujudnya pertemuan yang membanggakan itu. Bahkan pendukung nonparpol juga masih tampak nyinyir di dunia maya.
Baca juga: Jokowi dan Prabowo naik kereta MRT bersama
Baca juga: Jokowi-Prabowo makan sate bersama di Senayan
Agenda lain
Diakui atau tidak, kericuhan massa pada 21-22 Mei 2019 dalam sengketa Pilpres 2019 di Kantor Bawaslu dan akhirnya "menyerah" pada proses di Mahkamah Konstitusi (MK) itu patut diduga bukan sekadar memiliki satu agenda untuk mengganti pemimpin nasional, namun ada target lain.
Faktanya, tidak hanya dalam kampanye salah satu pasangan calon presiden yang sering diwarnai berkibarnya bendera kelompok radikalis> namun ada parpol pendukung capres yang sudah dibuat gerah akibar diabaikan dalam kampanye akbar (dinihari) yang didominasi kelompok tertentu itu.
Puncak dominasi itu adalah kericuhan di Bawaslu pada 21-22 Mei 2019 yang "diberangus" aparat lewat "saklar" media sosial yang dimatikan sejenak hingga semuanya nyaris tak terdengar selama 4-5 hari.
Itu mau diulang di MK, namun "diberangus" oleh wacana "pertemuan" Jokowi-Prabowo yang sudah berproses dan mampu "mematikan" kericuhan ulang.
Upaya lain tetap saja dilakukan meski ada "inkrach" (keputusan berkekuatan hukum tetap) dari MK. Padahal Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam pidato resminya telah menerima dan menghormati keputusan MK.
Ya, diduga ada "penunggang" pada proses pemilihan demokratis itu untuk memaksakan kehendak dan tujuan dengan menghalalkan segala cara.
Namun penilaian yang berbeda juga muncul di ranah publik. Sebut saja pernyataan Prof Dr Achmad Zahro (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya/UINSA), Prof Dr Aminuddin Kasdi (Guru Besar Universitas Negeri Surabaya/Unesa) dan Drs Choirul Anam (Cak Anam/mantan Ketua GP Ansor Jatim).
Ketiga tokoh Islam itu menyebut umat Islam sedang ditakut-takuti dengan istilah radikalisme agar lupa dengan ancaman sesungguhnya, yaitu komunisme.
"ISIS, Al Qaeda dan HTI itu hanya proyek untuk memecah-belah umat Islam dan NU yang dijadikan tumbal untuk kekuasaan," kata Cak Anam dalam diskusi bedah buku yang ditulisnya di Gedung Astranawa, Surabaya (26/2/19).
Prof Zahro pun senada. "HTI digambarkan sebagai kekuatan dahsyat yang hendak mengganti Pancasila dengan sistem khilafah, padahal khilafah versi HTI itu hanya gagasan. HTI itu sangat kecil dan tidak memiliki negara induk. Beda dengan Syiah yang memiliki negara Iran," kata Prof Zahro.
Pernyataan itu digandengkan dengan Prof Aminuddin Kasdi yang memang merupakan peneliti PKI (komunisme), meski PKI tidak serta merta dapat dipadankan dengan komunis pada era kekinian yang mirip dengan upaya membandingkan antara ideologi dengan politik yang dipaksakan kaum radikalis.
Baca juga: BNPT berikan kriteria radikalisme pada pansel capim KPK
Baca juga: BNPT minta aparat kelurahan partisipasi cegah terorisme
Kampus
Padahal, gerakan radikalis itu ada serentetan fakta sejak kampanye dukungan, lalu pengibaran bendera dalam setiap kampanye, dominasi dukungan yang melampaui parpol pendukung dalam kampanye akbar, kericuhan 21-22 Mei 2019, hingga pengabaian imbauan capres yang didukung pascakeputusan MK.
Ada juga temuan fakta dalam penangkapan teroris yang menyusup dalam unjuk rasa. Tentu rentetan fakta itu tidak bersifat hampa dan bisa dianggap kecil dalam jangka panjang.
"Mereka memaksakan tindakan ricuh dengan berharap ini akan melahirkan efek domino politik seperti di Suriah. Ada martir yang dikorbankan, harapannya memicu instabilitas politik skala besar dan diharapkan Presiden tidak bisa mengendalikan situasi," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, di Jakarta (29/5).
Menurut Hendardi, ada skenario besar di balik aksi ricuh, yakni memaksakan kehendak untuk kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Namun pasangan calon itu mungkin hanya dimanfaatkan oleh kelompok pensiunan tentara dan kelompok radikal yang mencari kekuasaan.
Direktur Imparsial Al Araf juga berpendapat sama. Kelompok yang 'bermain' dalam kerusuhan sengaja ingin Indonesia kacau dan mungkin berharap Indonesia seperti Suriah.
"Tujuan politiknya lebih besar, bukan hanya soal sengketa pemilu, tapi secara keseluruhan Indonesia chaos, seperti Suriah. Makanya, polisi banyak melakukan penangkapan terhadap jaringan Jamaah Ansharut Daulah yang menyusup di tengah unjuk rasa," katanya.
Artinya, tindakan pemerintah yang membubarkan kelompok radikalis secara yuridis lewat Perppu agaknya justru memancing perlawanan. Bahkan perlawanan itu sesungguhnya bukan hanya bersifat gerakan yang menggedor negara lewat pemanfaatan Pilpres 2019.
Bahkan Direktur Riset Setara Institute Halili dalam diskusi media bertajuk "Membaca Peta Wacana dan Gerakan Keagamaan di Perguruan Tinggi Negeri" di Jakarta (31/5) mengemukakan berbagai kampus masih berkembang kelompok wacana dan gerakan keislaman eksklusif.
"Jadi, jangan dibayangkan besar mobilisasi sumber daya kita, termasuk sumber daya pemerintah, misalkan, lewat pelembagaan BPIP, pembubaran HTI dan seterusnya itu meredam sepenuhnya. Itu tidak," kata Halili saat memaparkan hasil penelitian pada sejumlah kampus negeri.
Baca juga: Rektor : konsep washatiyah bendung millenial Islam dari radikalisme
Baca juga: BNPT berikan kriteria radikalisme pada pansel capim KPK
Penelitian
Penelitian yang dilakukan padai 10 PTN, yaitu UI, UIN Syarief Hidayatullah, ITB, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, IPB, UGM, UNY Yogyakarta, UB Malang, Unair dan Universitas Mataram, menunjukkan adanya relasi organisasi yang dibubarkan pemerintah (HTI) dengan gerakan dan wacana kelompok islam eksklusif di kampus tersebut.
Kedua, pembubaran HTI merupakan satu catatan, tapi pembubaran HTI tidak menghapus ideologi kanan. Ideologi kanan yang kontra dengan Pancasila ada dua proses transformasi, yakni menyusup atau di permukaan. Sama-sama membahayakan, di permukaan tampak seperti tidak beraktivitas, tapi di bawah tanah mereka terus bergerilya.
Dalam penelitian itu, ada 1.000 mahasiswa tingkat sarjana (S1) yang dijadikan responden. Masing-masing kampus 100 responden dan responden adalah muslim. Metode riset ini adalah survei.
Ke-10 peringkat kampus dalam kategori "Fundamentalisme Pendirian Beragama Responden". Semakin atas peringkatnya maka semakin fundamentalis mahasiswanya (bukan kampusnya), yakni UIN Bandung, UIN Jakarta, UNRAM, IPB, UNY, UGM, Universitas Brawijaya, ITB, Unair dan UI.
Halili mengapresiasi salah satu kampus, yakni UGM yang merestrukturisasi pengelola masjid kampus. Hasilnya para narasumber mengisi kegiatan di masjid lebih beragam dan moderat.
"UGM juga merestrukturisasi pengelolaan masjid kampus UGM dan memposisikannya langsung di bawah rektorat. Hasilnya, para narasumber yang mengisi kegiatan keislaman di masjid kampus lebih beragam dan lebih moderat," katanya.
Karena itu, Setara Institute berharap negara memberikan perhatian serius terhadap fenomena gerakan dan wacana kelompok Islam eksklusif melalui para rektor kampus sebagai pejabat kunci yang mampu mewarnai kebijakan keagamaan di lingkungannya.
Agaknya, pertemuan Jokowi-Prabowo yang masih sebatas pertemuan antarelite itu akan (lebih) membanggakan lagi bila diikuti dengan pertemuan parpol pendukung keduanya untuk menghentikan langkah-langkah "penunggang" (pendukung dengan agenda tersembunyi) yang ingin merobohkan pilar-pilar kebangsaan/kenegaraan yang susah-payah dibangun dengan pendekatan budaya tanpa kekerasan.
Patut dicermati pernyataan Presiden ke-4 RI (Almarhum) KH Abdurrahman Wahid dalam sebuah diskusi bahwa Islam di Indonesia lahir dari basis kebudayaan. Jika itu dihilangkan, maka kemungkinan ada dua hal.
Pertama, kebudayaan akan mati. Kedua, Islam akan hancur.
Pesan Gus Dur: Jadilah pemikir yang sehat.
Baca juga: Perlindungan anak dari radikalisme perlu ditingkatkan, sebut KPAI
Baca juga: Kementerian PPPA cegah dan layani anak terjerat radikalisme
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019