"Jenis putusan ini sebenarnya tidak ada dalam norma putusan DKPP. Terdengar aneh dan terkesan tidak tegas," kata Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur Novli Thyssen kepada ANTARA di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, tidak ada standarisasi barometer yang jelas atas sanksi tersebut. Untuk itu pihaknya berharap Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bisa lebih tegas dalam menjaga marwah kehormatan penyelenggara pemilu.
DKPP merupakan garda terakhir penjaga kehormatan penyelenggara pemilu dan pemberi keadilan bagi semua pihak yang mencari keadilan atas ketidakadilan.
Baca juga: KIPP : Keputusan DKPP gelar sidang etik Bawaslu Surabaya sudah tepat
Baca juga: KIPP Jatim pertimbangkan laporkan Bawaslu Surabaya ke DKPP
Baca juga: 20 TPS di Jatim lakukan pemungutan suara ulang
DKPP telah memutus perkara Nomor 87-PKE-DKPP-V-2019 atas dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu Surabaya.
Terdapat dua poin persoalan yang diadukan oleh pengadu dalam hal ini Ketua DPC PDI Perjuangan periode 2014-2019, Whisnu Sakti Buana.
Dua poin tersebut, yakni pertama terkait dengan persoalan ketidakprofesionalan Bawaslu dalam mengeluarkan rekomendasi 436/K.JI-38/PM.05.02/V/2019 tentang memerintahkan KPU Surabaya beserta PPK dan jajarannya melakukan rekapitulasi ulang di PPK dan penghitungan suara ulang untuk Tempat Pemungutan Suara (TPS) se-Kota Surabaya.
Sedangkan poin kedua adalah dugaan keberpihakan Bawaslu Surabaya terhadap salah satu caleg DPRI RI Dapil 1 Surabaya-Sidoarjo.
Persoalan ketidakprofesionalan Bawaslu dalam mengeluarkan rekomendasi 436/K.JI-38/PM.05.02/V/2019 DKPP menilai dalam putusannya bahwa kebijakan Bawaslu Surabaya tersebut tidak profesional dan tidak memberikan kepastian hukum karena menerbitkan rekomendasi tidak disertai data dan informasi yang spesifik terkait subjek, objek serta locus sehingga dapat mereduksi kepercayaan publik kepada Bawaslu Surabaya.
Meski demikian, kata dia, KIPP Jatim mengapresiasi keputusan DKPP tersebut karena DKPP jeli mengungkap fakta ketidakprofesional Bawaslu Kota Surabaya yang melanggar prosedur, tata cara dan mekanisme penanganan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018.
"Mengeluarkan rekomendasi tanpa dilampirkan hasil pengawasan sama halnya dengan rekomendasi bodong dan terkesan tidak profesional," katanya.
Dengan keluarnya putusan DKPP yang memberikan sanksi kepada seluruh anggota Bawaslu Surabaya menjadi bukti bahwa Bawaslu Kota Surabaya telah melanggar etika sebagai Penyelenggara Pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Adapun putusan DKPP adalah memberikan sanksi peringatan keras dan memberhentikan Hadi Margo Sambodo dari jabatan ketua Bawaslu Surabaya tanpa menghilangkan haknya sebagai anggota Bawaslu Kota Surabaya.
Selain itu memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Agil Akbar selaku anggota dan memberikan sanksi peringatan kepada tiga anggota Bawaslu Kota Surabaya lainnya, yakni Usman, Hidayat dan Yaqub Baliyya.
Pertimbangan pemberian sanksi yang berbeda ini disesuaikan dengan kadar perbuatan masing-masing anggota Bawaslu Kota Surabaya.
"Semoga dengan sanksi tersebut Bawaslu Kota Surabaya bisa mengevaluasi secara kelembagaan agar lebih baik lagi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya kedepan," katanya.
Anggota Bawaslu Surabaya Yaqub Baliyya sebelumnya mengatakan pihaknya akan mematuhi putusan DKPP. Untuk itu Bawaslu Surabaya akan melaporkan hasil DKPP terlebih dahulu ke Bawaslu Jatim.
"Kita taat dan patuh pada keputusan DKPP," kata Yaqub.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019