Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyampaikan pentingnya pengelolaan utang luar negeri secara baik untuk mendukung perekonomian Indonesia, antara lain melalui pemenuhan penerapan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian.Sejak awal diimplementasikan pada 2015, kepatuhan korporasi terhadap kebijakan KPPK menunjukkan tren yang meningkat
"Tingkat kepatuhan korporasi terhadap pemenuhan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian (KPPK) terus menunjukkan peningkatan sejak awal diimplementasikannya KPPK," kata Mirza pada pertemuan terkait KPPK bersama korporasi di Jakarta, Jumat.
Mirza mengatakan, sejak awal diimplementasikan pada 2015, kepatuhan korporasi terhadap kebijakan KPPK menunjukkan tren yang meningkat.
Kepatuhan terhadap kewajiban lindung nilai untuk periode kewajiban sampai dengan tiga bulan ke depan mencapai rata-rata 89,8 persen pada 2018, jauh meningkat dibandingkan 2015 yang sebesar 82 persen.
Demikian juga kewajiban lindung nilai untuk periode 3-6 bulan ke depan, mencatat tingkat kepatuhan rata-rata 93,3 persen pada 2018, meningkat dari sebelumnya 87,7 persen pada 2015.
Pemenuhan kewajiban rasio likuiditas minimum juga sangat tinggi, yaitu rata-rata 87,8 persen pada 2018, dibandingkan 2015 yang mencatat rata-rata sebesar 83,4 persen.
Sementara, tingkat kepatuhan terhadap kewajiban peringkat utang meningkat tajam dari rata-rata 26,5 persen pada saat awal implementasi menjadi rata-rata 74,7 persen pada 2019.
Menurut Mirza, tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap ketentuan KPPK merupakan hasil dari upaya BI menegakkan aturan secara konsisten dan melakukan sosialisasi secara berkesinambungan.
Sebagai langkah peningkatan kepatuhan (enforcement), kata Mirza, BI telah melakukan langkah-langkah koordinasi dengan berbagai kreditur di luar negeri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kepada kreditur di luar negeri, BI menyampaikan surat terkait korporasi yang telah tiga kali tidak mematuhi ketentuan kebijakan KPPK dalam satu tahun kalender.
Sementara kepada OJK, BI menyampaikan informasi mengenai korporasi yang telah tiga kali melanggar ketentuan pelaporan KPPK dalam satu tahun kalender.
Ke depan, dengan pemenuhan kepatuhan korporasi terhadap KPPK yang makin meningkat diharapkan berbagai risiko yang dapat timbul dalam pengelolaan utang luar negeri termasuk risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang terlalu tinggi atau berlebihan (overleverage) dapat lebih dimitigasi, kata Mirza.
Dengan demikian, katanya, utang luar negeri dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan nasional.
Sosialisasi ketentuan KPPK kepada korporasi pemilik utang luar negeri valas, kantor akuntan publik (KAP), dan perbankan dalam negeri juga terus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terkait pelaporan maupun kebijakan KPPK.
KPPK diatur oleh Bank Indonesia dalam PBI No.16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.
Ketentuan tersebut bertujuan untuk menjaga pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank agar memberikan kontribusi yang optimal terhadap perekonomian nasional dan tidak menimbulkan gangguan pada kestabilan makroekonomi.
Tiga kewajiban utama dalam KPPK adalah kewajiban lindung nilai, pemenuhan rasio likuiditas minimum, dan kewajiban peringkat utang.
Baca juga: Pangkas bunga acuan, BI yakin modal asing tetap masuk dengan deras
Baca juga: IHSG akhir pekan menguat, masih dipicu sentimen penurunan suku bunga
Baca juga: Utang luar negeri naik 7,4 persen Mei, melambat dibanding April 2019
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019