• Beranda
  • Berita
  • Melihat keharmonisan Kampung Madinah di Desa Temboro Magetan

Melihat keharmonisan Kampung Madinah di Desa Temboro Magetan

21 Juli 2019 16:38 WIB
Melihat keharmonisan Kampung Madinah di Desa Temboro Magetan
Suasana Kampung Madinah di Desa Temboro, Kecamaatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. (ANTARA/Louis Rika)

Di sini kalau pas pertemuan wali santri, hampir semua rumah warga disewakan

Entah sejak kapan nama Kampung Madinah itu melekat untuk salah satu wilayah di Kabupaten Magetan, Jawa Timur tersebut.

Hal yang pasti, kehidupan sehari-hari warganya yang menduplikasi Kota Madinah, Arab Saudi, menjadi viral sejak beberapa waktu terakhir.

"Saya sendiri yang merupakan warga asli sini, tidak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan sebutan Kampung Madinah. Tahunya sebutan Kampung Madinah itu sudah viral akhir-akhir ini dan heboh di media sosial, seperti Facebook dan Twitter," ujar Kasi Pemerintahan Desa Temboro Lukman Hakim saat ditemui di rumahnya.

Kampung Madinah sejatinya sebutan lain dari Desa Temboro di Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan.

Semua warga Desa Temboro penganut agama Islam yang religius. Hal itu tidak lepas dari keberadaan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fatah di desa tersebut.

Lukman menjelaskan pengaruh besar Ponpes Al Fatah bagi warga desanya, baik dari segi ajaran keagamaan, perilaku sosial sehari-hari, maupun perekonomian. Kehidupan sehari-hari di ponpes dengan warga sekitarnya, telah bersinergi dan harmoni selama bertahun-tahun, bahkan sejak ponpes tersebut berdiri.

Ponpes Al Fatah dibangun pada 1950-an. Ponpes yang saat ini telah memiliki puluhan ribu santri tersebut, awalnya masjid dan tempat belajar mengaji yang didirikan Kiai Haji Mahmud.

Seiring dengan perkembangan waktu, Ponpes Al Fatah memiliki Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzul Quran, dan Madrasah Diniyah.

Ponpes Al Fatah mulai mengalami perkembangan pesat sekitar 2000-an di bawah pimpinan K.H. Uzairon Hayfur Abdillah yang merupakan putra K.H. Mahmud.

Saat ini, bangunan ponpes telah menyebar di tiga lokasi yang mendominasi wilayah Desa Temboro, yakni Pondok Pusat, Pondok Utara, dan Trangkil Darussalaam yang sebagian besar merupakan pondok putri.

Sebanyak 50 persen lebih warga di Kampung Madinah pendatang, sisanya warga asli Desa Temboro.

Para pendatang merupakan santriwan dan santriwati berasal dari berbagai wilayah di Indonesia serta 16 negara yang sedang menuntut ilmu di Ponpes Al Fatah. Selain itu, warga luar Temboro yang membuka usaha dagang di wilayah tersebut.

"Sampai dengan saat ini, jumlah santri yang belajar di Ponpes Al Fatah mencapai 22.000 lebih. Itu belum termasuk santri yang belajar kilat selama beberapa hari saja atau bulan. Tahun ajaran baru ini saja, Ponpes Al Fatah menerima 4.000 santri baru," kata dia.

Pihaknya membenarkan sebutan Kampung Madinah tersebut lekat bagi desanya karena ponpes setempat berusaha membawa kebiasaan warga Kota Madinah, Arab Saudi dalam kehidupan sehari-hari santrinya.

Kebiasaan itu, akhirnya menular ke perilaku sehari-hari warga sekitar ponpes, di antaranya aktivitas masyarakat Desa Temboro yang selalu sepi saat azan berkumandang. Hal itu, karena hampir seluruh warga pergi ke masjid atau mushalla desa untuk beribadah.

"Memang tradisi di sini ini setiap waktu shalat lima waktu semua kegiatan diusahakan dihentikan. Semua pertokoan atau apa ditutup. Setelah shalat dibuka lagi," kata Lukman.

Dari segi pakaian, hampir seluruh warga Desa Temboro berpakaian sunnah, seperti pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW dahulu. Kaum pria mengenakan baju gamis, sedangkan kaum perempuan mengenakan baju muslim serta cadar penutup wajah.

Selain itu, di lingkungan pondok setempat juga terdapat lahan untuk pacuan kuda, tempat unta, dan lapangan memanah.

Kebiasaan warga Temboro yang menduplikasi Kota Madinah, Arab Saudi mulai diterapkan setelah pondok dipimpin K.H. Uzairon Hayfur Abdillah pada 1990-an.

Sepulang menuntut pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, kiai tersebut aktif berdakwah untuk mensyiarkan agama Islam dan ajaran sunnah. Tidak hanya di sekitar desa, tetapi ke seluruh Indonesia, bahkan berbagai negara dengan menerima santri dari berbagai wilayah nusantara dan luar negeri.

Setelah K.H. Uzairon wafat pada 2014, kepemimpinan yayasan Ponpes Al Fatah diteruskan adik-adiknya, yakni K.H. Ubaidillah Ahror dan K.H. Umar Fatahillah.

                                                                    Kemakmuran meningkat
Keberadaan Ponpes Al Fatah di Desa Temboro telah membuat tingkat perekonomian warga sekitar pondok meningkat sehingga taraf kemakmuran hidup juga meningkat.

Aktivitas keseharian pondok telah memberikan lapangan pekerjaan bagi warga desa sekitar yang dahulu hanya mengandalkan pertanian. Perputaran uang di Kampung Madinah tersebut ditaksir bisa mencapai puluhan miliaran rupiah setiap bulan.

Warga desa, terutama kaum ibu, banyak yang menjual makanan olahan sendiri untuk disetorkan ke koperasi pondok, mulai dari nasi bungkus hingga jajanan gorengan untuk keperluan para santri.

"Semua kebutuhan santri dipenuhi dengan membeli keperluan di koperasi pondok. Hal itu karena santri dilarang keluar kecuali ada alasan genting, seperti sakit. Koperasi pondok tentunya mendapatkan pasokan dari warga sekitarnya," kata Lukman.

Warga setempat dari kalangan laki-laki menyediakan jasa transportasi berupa becak motor. Sesuai kesepakatan dengan pondok, tarif becak motor Rp5.000 per kepala untuk jarak jauh maupun dekat.

"Jadi kalau mengangkut dua orang, bayarnya Rp10.000. Ngitungnya per orang, bukan per becak," katanya.

Selain memasok makanan dan jasa becak motor, banyak juga warga sekitar dan pendatang membuka toko atau kios guna menjual semua barang keperluan santri, mulai dari toko baju gamis, baju muslim, dan keperluan belajar santri.

Baju-baju muslim perempuan yang dijual di toko-toko setempat kebanyakan dibuat sendiri oleh pemilik tokonya. Proses pembuatan baju muslim tersebut melibatkan ibu-ibu warga desa dalam hal memasang manik-manik baju ataupun menjahit untuk kemudian disetor ke toko.

Paling ramai jika tiba agenda pertemuan wali santri. Biasanya digelar setiap Syawal pada tanggal 20-an. Dalam kegiatan itu, ponpes mengundang seluruh wali santri untuk bersilaturahim sekaligus membacakan laporan tentang kegiatan ponpes, mulai dari laporan keuangan, kegiatan santri, hingga pembangunan pondok.

Erwin, salah satu pedagang baju gamis di wilayah setempat, mengaku mendapatkan pendapatan yang besar saat pertemuan wali santri.

Dia memasok baju gamis lebih banyak saat kegiatan itu yang didatangkannya dari Surabaya dan Jakarta untuk dijual.

"Ramai sekali kalau pas wali muridan. Ini pertemuannya se-Asia Tenggara. Banyak santrinya. Tahun kemarin pendapatan bisa Rp150 juta selama kegiatan," katanya.

Ali, salah satu penarik becak motor, mengaku per hari omzetnya bisa mencapai Rp1,5 juta saat pertemuan wali santri. Adapun pertemuan wali santri biasa digelar selama 10 hari, sedangkan seminggu sebelum acara itu, para wali santri dan santrinya sudah berdatangan.

Hal lain yang juga turut ketiban rejeki adalah warga desa sekitar pondok yang menyewakan rumah sebagai kamar penginapan. Hal itu, karena jumlah penginapan di Desa Temboro terbatas.

"Di sini kalau pas pertemuan wali santri, hampir semua rumah warga disewakan. Hitungan sewanya bukan per kamar, tapi per orang. Biasanya per orang biaya sewanya Rp75.000 per malam. Jadi kalau satu kamar disewa empat orang, tinggal kalikan saja," terang Lukman.

Selaku perangkat desa yang juga warga asli Temboro, Lukman membenarkan jika taraf ekonomi warganya meningkat karena keberadaan Ponpes Al Fatah.

Pihaknya juga mengakui keterlibatan warga setempat dalam setiap kegiatan pondok. Misalnya jika pondok menggelar pengajian umum, peserta yang hadir bisa ribuan orang dari berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk tim keamanan dan parkir, pihak pengurus pondok selalu meminta bantuan warga desa setempat. Biasanya para pemuda kampung dan bapak-bapak dilibatkan, sedangkan proses masak makanan melibatkan kaum ibu.

Pengajian biasanya digelar setiap Kamis malam setelah Maghrib. Setelah shlat Isya, banyak warga yang melakukan taklim dan zikir.

Saat Bulan Suci Ramadhan, banyak warga desa menjual makanan takjil untuk berbuka puasa para santri dan warga pendatang. Jalanan di Kampung Madinah menjelang jam berbuka puasa menjadi padat karena semua warga berbaur.

Saat Idul Adha, para santri dan warga juga melaksanakan takbir sambil berkeliling Kampung Madinah.

Pemotongan hewan kurban juga dilakukan bersama di sejumlah masjid pondok dan kampung. Pembagian daging kurban juga menyasar warga, terlebih mereka yang kurang mampu.

Ponpes Al Fatah juga biasa menggelar pengajian akbar saat memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Kegiatan tersebut juga melibatkan warga sekitar pondok.

Hingga kini, jumlah santri yang menuntut ilmu di Ponpes Al Fatah mencapai lebih dari 22.000 orang.

Dari jumlah tersebut, sekitar 980 santri berasal dari luar negeri, yang kebanyakan dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, dan Thailand.

Baca juga: KPU Magetan buka posko layanan pindah pilih di Ponpes Temboro
Baca juga: Ratusan santri Kota Tual tempuh pendidikan di pesantren Jabar-Jateng

Pewarta: Louis Rika Stevani
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019