Ahmad Heri Firdaus dalam rilis di Jakarta, Selasa, mengatakan, kontrak yang telah disepakati sejak awal oleh kedua belah pihak harus dihargai dan tidak boleh tiba-tiba berubah di tengah jalan.
"Kalau investor lain melihatnya, wah kalau saya investasi di Indonesia nanti tiba-tiba dalam jangka panjang, mungkin kontrak saya enggak dihargai lagi, kan jadi dirugikan swasta," ucapnya.
Sebagaimana diwartakan sejumlah media, polemik pembangunan Pelabuhan Marunda awalnya berasal dari kerja sama KBN dan KTU dalam membentuk anak perusahaan PT KCN dengan porsi kepemilikan saham KBN 15 persen dan KTU 85 persen.
Seiring berjalannya waktu, KBN meminta revisi komposisi saham yang akhirnya disepakati menjadi 50:50, namun KBN tak mampu menyetor modal hingga batas waktu yang ditentukan karena ternyata tidak diizinkan oleh Kementerian BUMN sebagai pemilik saham KBN dan juga Dewan Komisaris PT KBN.
Menurut Heri, kejadian tidak menghargai kontrak awal yang saat ini terjadi antara KBN dan KTU dalam kepemilikan saham di anak usahanya PT KCN, tidak boleh terulang lagi di dunia bisnis di Tanah Air.
"Tidak boleh lagi kejadian kayak seperti ini ke depan, oleh sebab itu harus ada solusi yang seharusnya enggak dibawa ke ranah hukum," ujarnya.
Agar tidak berdampak buruk terhadap iklim investasi di Indonesia, Heri pun berharap Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan ikut serta menyelesaikan sengketa Pelabuhan Marunda.
"Harus ada jalan terbaiknya, intinya apapun keputusannya menjadi win-win solution bagi kedua belah pihak," kata Heri.
Baca juga: Anggota DPR: Pengembangan pelabuhan Marunda tidak boleh terhambat
Baca juga: Pendiri KBN: Kembalikan KBN kepada fungsi utamanya
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019