“Kami merasa itu kewenangan dari Presiden yang sebaiknya mungkin ke depan tidak terulang lagi (pemberian grasi pada kasus kekerasan seksual anak),” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu pada konferensi persnya di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Rabu.
Edwin mengatakan bahwa kasus JIS merupakan salah satu ujian bagi LPSK dan lembaga kementerian lain. Peristiwa itu menunjukkan komitmen bersama untuk melindungi anak belum sepenuhnya terlaksana.
Baca juga: Korban JIS kirim surat terbuka pada presiden terkait grasi pelaku
“Ini harus kita perbaiki, mungkin kalau grasi ini harus dilakukan bersama antarkementerian dan lembaga,” katanya.
Mengatasi peristiwa itu, Edwin mengatakan bahwa LPSK akan menyampaikan masukan revisi terhadap Pasal 34A PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM).
“LPSK punya perhatian atas revisi PP No.99/2012 supaya perlindungan kepada anak itu dorongannya lebih kencang, perlu dimasukkan ke dalam peraturan itu bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak janganlah diberi hak-hak narapidana, seperti pengurangan hukuman dan grasi,” kata wakil ketua LPSK lain, Achmadi.
Terpidana kasus pelecehan seksual yang juga mantan guru JIS Neil Bantleman telah bebas pada tanggal 21 Juni 2019.
Sebelumnya, Neil ditahan di Lembaga Permasyarakatan Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur.
Baca juga: MaPPI: Grasi untuk Neil Bantleman adalah hak preogratif Presiden
Neil dibebaskan karena mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 13/G tahun 2019 tanggal 19 Juni 2019.
Kepres tersebut memutuskan berupa pengurangan pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp100 juta.
Kasus pelecehan seksual terhadap murid JIS ini berawal dari laporan orang tua murid FLW pada tanggal 15 April 2015.
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019