Kami pasti cermati beberapa debitur yang terancam gagal bayar
Otoritas Jasa Keuangan mulai mengawasi risiko dalam kredit perbankan setelah terdapat kabar potensi gagal bayar (default) instrumen pembiayaan dari anak usaha Duniatex Group, sebuah konglomerasi perusahaan tekstil yang memiliki eksposur kredit terhadap sejumlah bank nasional.
"Kami pasti cermati beberapa debitur yang terancam gagal bayar. Tapi sejauh ini, itu kan masalah masing-masing perusahaannya. Namun seberapapun, saya ingin cermati berapa pengaruhnya terhadap bank," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana di Jakata, Rabu.
Saat ini, kata Heru, OJK tengah mengawasi dampak perang dagang dan perlambatan perekonomian dunia terhadap kinerja masing-masing bank di Indonesia. Menurut dia, berdasarkan penilaian terhadap risiko kredit perbankan secara keseluruhan atau industri, belum terlihat dampak perang dagang yang signifikan terhadap kinerja masing-masing industri perbankan. Heru juga belum melihat dampaknya terhadap rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL).
"Selama ini saya lihat tidak terlalu mengganggu kinerja bank secara umum," ujar dia.
Dia masih mempercayai kemampuan industri perbankan domestik untuk merestrukturisasi kredit, jika kredit itu masuk kategori bermasalah (Non Performing Loan/NPL).
"Kredit-kredit seperti itu pasti akan direstrukturisasi. Tidak harus otomatis jadi macet. Ada proses restrukturisasi. Kalau itu jadi lancar kembali karena prosesnya bener dan tidak akan ganggu NPL," ujar dia.
Pernyataan Heru tersebut menanggapi informasi dari pasar keuangan internasional bahwa anak usaha Duniatex, Delta Dunia Sandang Tekstil, dikabarkan gagal membayar kewajiban instrumen pembiayaan.
PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk (BNI) merupakan salah satu kreditur dari Duniatex. Kredit BNI kepada anak usaha Duniatex yang telah disalurkan sebesar Rp459 miliar. Pinjaman itu terdiri dari kredit sindikasi Rp301 miliar dan juga kredit bilateral sebesar Rp158 miliar.
BNI menegaskan hingga jangka waktu kewajiban Duniatex periode Juni 2019, pembayaran angsuran kredit masih normal atau tergolong kolektibilitas tahap pertama.
“Adanya kejadian itu, BNI lakukan antisipasi pada Juli 2019 pembayarannya seperti apa,” kata Direktur Manajemen Risiko BNI Bob Tyasika Ananta.
Bob menegaskan bahwa perseroan juga menguasai aset yang dijadikan jaminan oleh Duniatex untuk mendapatkan kredit. Nilai jaminan kredit itu mencapai 2,5 kali lipat dari total kredit yang disalurkan BNI.
“Ini kami baru saja terjadi. Kami sedang bicarakan dengan pemiliknya untuk mencarikan investor. Kita lihat seperti apa,” kata Bob.
Setelah kabar gagal bayar dari Delta Dunia Sandang Tekstil, berdasarkan pemberitaan sebelumnya, S&P Global Ratings mengumumkan untuk memangkas peringkat utang perusahaan sebesar enam level dari BB- menjadi CCC- dengan alasan tantangan likuiditas di perusahaan.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings juga menurunkan peringkat kredit Delta Merlin Dunia Textile menjadi B-. Fitch menyoroti tekanan pembiayaan kembali dan risiko likuiditas yang dihadapi perusahaan.
Meskipun tidak memiliki debitur yang gagal bayar, bank swasta terbesar di Tanah Air, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mengatakan saat ini pihaknya semakin "mengencangkan ikat pinggang" dalam menyalurkan pinjaman karena beberapa kasus gagal bayar sejumlah debitur.
Masalah finansial dunia usaha tersebut disebabkan dampak dari perlambatan perekonomian global dan berlanjutnya perang dagang antara AS dan China.
"Kita memang hati-hati, beberapa bonds (obligasi) di market (pasar) itu default. Jadi kita mesti hati-hati di market," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.
Baca juga: OJK kembali ubah target pertumbuhan kredit jadi 11-13 persen
Baca juga: OJK: Perlindungan data konsumen jadi PR di ekonomi digital
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019