"Kami menangani 483 kasus ISPA selama enam bulan tetapi selama Juni terjadi tren penurunan," kata Direktur RSUD Sawah Besar, dr Budi Wibowo di Jakarta, Senin.
Baca juga: Walhi: Pemprov Jakarta lamban tangani polusi udara
Baca juga: Dewan desak Gubernur sikapi persoalan polusi udara Jakarta
Baca juga: CFD di tengah udara Jakarta yang tidak sehat
Baca juga: Jakarta harus tiru manajemen pengendalian polusi udara Beijing
Ia merinci selama periode Januari hingga April 2019 tercatat 363 pasien mengidap ISPA yang sempat menjalani perawatan.
Sedangkan pada periode Mei hingga Juni, kasus ISPA mengalami penurunan dari 81 kasus pada Mei, menjadi 39 kasus pada Juni 2019.
Sedangkan, selama Juli ini masih dalam tahap penghitungan sehingga belum bisa dirangkum.
Sementara itu, dokter spesialis penyakit dalam RSUD Sawah Besar, Andi Takdir mengatakan polusi udara berkaitan erat dengan kasus ISPA.
Kelompok masyarakat yang rentan mengalami ISPA itu yakni anak-anak atau balita dan orang tua atau lanjut usia.
Menurut dia, anak-anak memiliki sistem kekebalan tubuh yang belum sempurna dan orang lanjut usia memiliki kekebalan tubuh yang mulai menurun, membuat mereka rentan terdampak ISPA.
"Di kota besar polusi tinggi-tinggi, itu rentan membuat daya tahan tubuh menurun, jadinya lebih teriritasi saluran nafasnya. Karena teriritasi saluran nafasnya, maka masyarakat lebih rentan mengalami ISPA," katanya.
Berdasarkan data pantauan pada laman AirVisual, Senin siang pukul 13.00 WIB, angka indeks kualitas udara atau air quality index (AQI) di wilayah Jakarta secara merata mencapai 176 dengan kadar partikulat PM2.5 di udara sebanyak 103,3 mikrogram per meter kubik.
Dengan angka indeks kategori tidak sehat tersebut, Jakarta bertahan di peringkat pertama kota dengan kualitas udara paling tidak sehat di dunia. Disusul oleh kota Dubai, Uni Emirat Arab, yang mempunyai angka AQI 155.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019