Penghadangan tersebut merupakan gerakan terbaru anti-pemerintah yang mengacaukan wilayah bekas jajahan Inggris itu.
Gelombang unjuk rasa, yang dimulai tiga bulan lalu untuk menentang rancangan undang-undang ekstradisi, kini berubah menjadi gerakan anti-pemerintah kota dan tuan politiknya di Beijing.
RUU Ekstradisi yang mereka protes tersebut bisa membuka kemungkinan warga Hong Kong dibawa ke China untuk diadili.
Para pengunjuk rasa pada Selasa pagi menghadang pintu-pintu kereta, sehingga mengacaukan layanan serta membuat ratusan orang terpaksa keluar dari stasiun kereta untuk mencari alternatif moda transportasi.
"Bukan niat kami membuat orang-orang merasa tidak nyaman, tapi kami perlu membuat pihak berwenang mengerti kenapa kami melakukan protes. Kami akan terus melakukan ini sejauh diperlukan," kata Sharon, 21 tahun, yang mengikuti protes sambil mengenakan penutup muka.
Beberapa pengunjuk rasa meneriakkan "Bebaskan Hong Kong", dan "Revolusi Milik Kita".
Penyelenggara layanan kereta MTR Corp mengatakan beberapa layanan terganggu. MTR meminta para calon penumpang kereta agar mencari alternatif kendaraan.
Hong Kong, yang dikembalikan oleh Inggris ke China pada 1997, terperosok ke dalam krisis politik terburuk dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Kekacauan terjadi setelah gelombang protes berlangsung selama dua bulan dan disertai dengan kekerasan. Keadaan itu menimbulkan tantangan bagi para penguasa Partai Komunis di Beijing.
China pada Senin menegaskan dukungannya bagi pemimpin Hong Kong yang sedang menghadapi penentangan, Carrie Lam, beserta kepolisian kota tersebut. China juga mendesak masyarakat Hong Kong untuk menentang kekerasan.
Sumber: Reuters
Baca juga: Teriakan "Bebaskan Hong Kong" bergema dalam aksi protes di bandara
Baca juga: Setelah bentrokan pekan lalu, Beijing akan tangani kerusuhan Hong Kong
Pewarta: Tia Mutiasari
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2019