"Konsumen punya hak akan keamanan, kenyamanan dan keselamatan serta menggunakan perangkat sesuai dengan nilainya," kata Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, dalam diskusi "Membedah Potensi Kerugian Konsumen, Industri, Negara Akibat Ponsel Black Market dan Solusinya" di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, Jumat.
Saat ini regulasi mengenai IMEI masih dibahas. Operator seluler belum mendapat gambaran menyeluruh mengenai alat apa saja yang perlu disiapkan untuk mengikuti aturan baru itu, termasuk pembagian tugas.
ATSI mencatat hal yang perlu disiapkan operator seluler antara lain mekanisme blokir dan membuka blokir dari operator, registrasi IMEI perangkat bawaan pribadi dari luar negeri, pusat layanan konsumen, serta mitigasi fenomena IMEI di lapangan misalnya duplikasi dan kloning IMEI.
Baca juga: Kominfo: penerapan IMEI butuh enam bulan
Ia menjelaskan, jika aturan sudah diberlakukan, operator seluler perlu membuat sistem tambahan untuk urusan blokir dan membuka blokir. Apabila IMEI ponsel tidak terdaftar maka layanan seluler untuk perangkat tersebut akan diblokir.
Sedangkan untuk membuka blokir, salah satu contoh kasus ketika konsumen kehilangan ponselnya maka ia bisa melaporkan nomor IMEI gawainya ke operator untuk diblokir agar tidak bisa digunakan. Jika ponsel kembali, konsumen bisa mengajukan untuk membuka blokir.
Merza menaksir sistem tersebut membutuhkan investasi yang besar, bisa mencapai Rp200 miliar bagi operator yang memiliki banyak pelanggan.
ATSI secara umum mendukung regulasi soal IMEI itu. Mereka berharap regulasi itu hanya sedikit membebani operator seluler secara investasi maupun operasional.
Baca juga: YLKI: ponsel ilegal tidak punya jaminan perlindungan konsumen
Baca juga: ATSI dukung regulasi tata kelola IMEI hindari kerugian negara
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019