"Pemerintah seharusnya melakukan harmoninasi terkait teknis hukuman kebiri kimia ini, karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutornya," ujar Giwo di Jakarta, Senin.
Penolakan tersebut dilakukan karena melanggar kode etik serta sumpah dokter sebagai profesi yang menyembuhkan dan merehabilitasi, bukan menyakiti.
Giwo menjelaskan bahwa yang ditolak oleh ikatan dokter itu adalah jika posisi dokter sebagai eksekutor bukan menolak pemberatan hukumannya, sebab kalau dokter melanggar kode etik maka akan berakibat fatal yakni pencabutan izin dokter. Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan harmonisasi terkait siapa yang mengeksekusi hukuman tersebut.
Kebiri kimia, kata dia, adalah bentuk pemberatan hukuman bagi pedofil sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2016. Selain kebiri kimia, pelaku pedofil juga dikenakan pemberatan hukuman sepertiga tuntutan pidana.
Giwo menambahkan yang disebut dalam Perppu adalah kebiri kimia, yakni dilakukan pengurangan kadar testosteron dalam tubuh dengan mengkosumsi obat-obatan tertentu secara berkala.
Dengan cara itu dorongan hasrat seksual akan berkurang. Perppu tidak mengatur kebiri bedah, yang mana libido dimatikan secara permanen.
"Kalau bicara setimpal , tentunya sudah dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan sehingga keluar Perppu tersebut , dan pelaku pedofilia. Kejadiannya tidak hanya mempunyai dampak pada korban pada saat itu saja, tetapi mempunyai dampak ganda dan bahkan mempunyai dampak jangka panjang bagi korbannya," kata Giwo.
Baca juga: Menkes dukung hukuman kebiri kimia terpidana kejahatan seksual anak
Baca juga: Menteri PPPA dukung vonis kebiri kimia PN Mojokerto
Baca juga: Kejati Jatim masih tunggu petunjuk teknis eksekusi hukuman kebiri
Pewarta: Indriani
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019