"RUU Pertanahan dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah. Jika pemerintah belum satu suara, maka RUU Pertanahan sangat sulit untuk diselesaikan," kata Abdul Hakam Naja melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Selasa.
Kementerian yang terkait dengan pembahasan RUU Pertanahan adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Menurut Hakam Naja, semua kementerian terkait dengan pembahasan RUU Pertanahan harus memiliki satu suara atau sikap yang sama sehingga pembahasan RUU Pertanahan dapat diselesaikan.
Pemerintah, kata dia, harus menentukan sikapnya terhadap RUU Pertanahan. Salah satu isu krusial dalam RUU Pertanahan ini adalah persoalan sistem administrasi tunggal atas semua pertanahan di Indonesia.
Baca juga: RUU Pertanahan harus bisa membantu pemerataan, mengentaskan kemiskinan
Baca juga: Anggota DPR imbau pemerintah satu suara bahas RUU Pertanahan
Baca juga: Ombudsman dukung ATR-BPN jadi sentral registrasi aspek pertanahan
Anggota Komisi II DPR RI ini menjelaskan, jika disepakati sistem yang modelnya seperti administrasi kependudukan, maka semua tanah harus didaftarkan, baik tanah negara, tanah hak guna usaha (HGB), tanah hak guna bangunan (HGB), tanah hal milik maupun tanah adat.
"Dalam konteks sistem administrasi tunggal pertanahan ini memunculkan perbedaan penafsiran dan sikap di antara kementerian terkait sehingga pembahasan RUU Pertanahan menjadi buntu," kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Padahal masa tugas anggota DPR RI periode 2014-2019 hanya sampai 30 September atau hanya sekitar satu bulan.
"Jika sampai batas akhir asa tugas anggota DPR RI belum ada kesepakatan, maka RUU Pertanahan tidak dapat disetujui menjadi undang-undang," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019