• Beranda
  • Berita
  • BPN tegaskan RUU Pertanahan jadi acuan pemilihan tanah ibu kota

BPN tegaskan RUU Pertanahan jadi acuan pemilihan tanah ibu kota

9 September 2019 20:37 WIB
BPN tegaskan RUU Pertanahan jadi acuan pemilihan tanah ibu kota
Sekjen KPA Dewi Kartika (kedua kiri) dan Kabag Hukum dan Humas BPN Yagus Suyadi (kedua kanan) dalam diskusi publik di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Senin (9/9/2019) (ANTARA/Prisca Triferna)
Rancangan Undang-Undang Pertanahan akan menjadi salah satu dasar untuk pemindahan ibu kota ke Kalimatan Timur untuk memastikan tanah yang akan dijadikan lahan adalah milik negara.

"Jangan sampai ada isu pemindahan ibu kota, di sana sudah muncul spekulan-spekulan. Karena itu harus dipastikan bahwa semua bidang tanah itu statusnya adalah tanah negara, atau tanah yang langsung dikuasai negara," ungkap Kepala Bagian Perundang-undangan, Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Yagus Suyadi, dalam diskusi publik di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan pada Senin.

Menurutnya, kerangka RUU Pertanahan dirancang untuk memastikan bahwa pengembang tidak dapat terus menerus memperpanjang Hak Guna Pakai (HGU) seperti yang terjadi selama ini.

Dalam aturan lama, ujar Yagus, ada peluang pengembang terus memperbarui izin dan kemudian memperpanjang lagi.

Dalam RUU Pertanahan, perusahaan atau badan hukum skala besar bisa memanfaatkan total 90 tahun untuk potensi penggunaan dengan memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) yang dibagi dalam izin pertama 35 tahun, dan periode kedua selama 35 tahun, dan pemberian HGU ketiga selama 20 tahun.

Baca juga: Pengamat: Ibu kota dan kawasan industri tidak bisa dipisahkan

Baca juga: KPA: pengadaan tanah ibu kota baru pertimbangkan ekologis dan budaya


RUU Pertanahan dibuat sebagai penyesuaian aturan dari Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritik RUU Pertanahan karena dianggap tidak memiliki semangat reforma agraria, bisa dilihat salah satunya dari ketiadaan subjek prioritas seperti petani kecil, buruh tani, masyarakat adat dan warga miskin di pedesaan serta perkotaan.

Menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, yang juga hadir dalam diskusi itu, RUU tersebut juga memiliki potensi memperpanjang konflik agraria karena ketiadaan lembaga independen yang memiliki wewenang untuk menyelesaikannya.*

Baca juga: Pengamat perkirakan dampak pembangunan ibu kota baru terhadap emisi

Baca juga: Di bakal ibu kota baru, aparat desa se-Penajam tuntut kenaikan gaji

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019