• Beranda
  • Berita
  • Pergulatan wewenang dan keamanan di perlintasan kereta api

Pergulatan wewenang dan keamanan di perlintasan kereta api

10 September 2019 14:50 WIB
Pergulatan wewenang dan keamanan di perlintasan kereta api
Ilustrasi: Sejumlah kendaraan melintasi perlintasan kereta api di Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/8/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/ama.

Dengan semakin tingginya frekuensi perjalanan KA, perlintasan sebidang semakin menjadi sumber masalah

Seorang anggota parlemen muda bernama Dirga Utama menghentikan mobilnya setelah lampu peringatan menyala dan palang diturunkan, tanda kereta akan melintas.

Air mukanya tak tenang meskipun berusaha disembunyikan dari istri dan kedua buah hatinya yang masih belia, ditambah ketika kawanan pengamen bergelagat mencurigakan menghampiri, di tengah rintik gerimis yang membuat suasana semakin mencekam.

Potongan kisah itu bukanlah nyata, melainkan hanya sepenggal dari ratusan adegan yang terekam dalam film superhero Indonesia yang menjadi pembicaraan saat ini, Gundala.

Entah apa pertimbangan sang sutradara, Joko Anwar, dalam memilih latar di perlintasan sebidang kereta api sebagai area yang dibuat cukup mencekam sekaligus arena pergulatan di beberapa adegannya.

Pergulatan di perlintasan sebidang ini juga tak terhindari dari sisi transportasi, yakni pergulatan tanggung jawab dan wewenang dalam mengatasi permasalahan tersebut karena kaitannya dengan aspek keselamatan serta sosial di masyarakat.

Bicara keselamatan, dalam data kecelakaan perkotaan tiap tahunnya pasti tidak lepas dari kejadian yang berlokasi di sekitar perlintasan sebidang.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat sepanjang 2018, terdapat 395 kecelakaan dengan jumlah korban jiwa sebanyak 245 orang baik luka ringan, luka berat sampai meninggal dunia di perlintasan sebidang.

Selain itu, menurut data PT Kereta Api Indonesia (KAI), selama Tahun 2019 telah terjadi 260 kali kecelakaan yang mengakibatkan 76 nyawa melayang.

Salah satu tingginya angka kecelakaan pada perlintasan juga kerap terjadi lantaran tidak sedikit para pengendara yang tetap melaju meskipun sudah ada peringatan melalui sejumlah rambu yang terdapat pada perlintasan resmi.

Padahal, menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 114 menyatakan bahwa pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib: Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dan atau ada isyarat lain; Mendahulukan kereta api, dan; Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintas rel.

Sulitnya mengendalikan serta mengawasi pengendara untuk tertib dalam melewati perlintasan sebidang seharusnya bisa ditanggulagi dengan membuat perlintasan tidak sebidang, seperti terowongan (underpass), jembatan layang (flyover) bahkan menutup perlintasan sebidang sesuai yang diamanatkan Undang Undang No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, yakni dalam Pasal 94 menyatakan bahwa “(1) Untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup”.
 

Operator

Lantas siapa yang bertanggung jawab dalam penutupan perlintasan sebidang? Masih di pasal yang sama dijelaskan bahwa “penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah."

KAI mencatat terdapat 1.223 perlintasan sebidang yang resmi (dijaga) dan 3.419 perlintasan sebidang yang liar (tidak dijaga), sedangkan perlintasan tidak sebidang baik berupa flyover maupun underpass berjumlah 349.

Dalam kenyataanya, operator dalam hal ini KAI, juga terlibat dalam penutupan perlintasan sebidang itu meskipun bukan merupakan tanggung jawab perseroan sesuai dengan UU yang berlaku.

Sebanyak 311 perlintasan tidak resmi telah KAI tutup dari 2018 hingga Juni 2019.

Direktur Utama KAI Edi Sukmoro menuturkan pada prosesnya langkah yang dilakukan KAI untuk keselamatan tersebut juga kerap mendapatkan penolakan dari masyarakat, dalam kondisi tersebut diperlukan langkah untuk mencari jalur alternatif bagi masyarakat yang harus disolusikan bersama oleh pemerintah pusat atau daerah.

"Memang sejalan dengan semakin tingginya peningkatan perjalanan kereta api, tentunya masalah perlintasan sebidang ini jadi concern kita untuk menyelesaikannya," kata Edi.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri juga sepakat bahwa wewenang dan tanggung jawab perlintasan sebidang ini sudah diatur dalam UU, yakni pihaknya sebagai pemerintah pusat serta pemerintah daerah.

“Dari sisi regulasi memang sudah jelas sebenarnya siapa yang berwenangan dan bertanggung jawab. Ini yang sebenarnya kita coba lihat nanti, kita ingatkan, kita gali kembali, masing-masing itu perannya seperti apa. Karena stakeholder untuk di perlintasan sebidang ini cukup banyak,” ujarnya.

Zulfikri menambahkan peran serta masyarakat juga perlu dilibatkan dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keselamatan di perlintasan sebidang.

“Dan yang utama juga termasuk masyarakat sendiri, jadi kedisiplinan masyarakat juga menjadi hal penting dalam penyelesaian atau peningkatan perlintasan sebidang,” ujarnya.
 

Peran Pemda

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menilai masih rendahnya peran pemda dalam penanganan perlintasan sebidang kereta api ini.

“Harus diakui peran pemda untuk aksi keselamatan berlalu lintas masih rendah. Minimnya alokasi anggaran untuk Dinas Perhubungan rata-rata kurang dari satu persen dari APBD. Tidak banyak pemda yang berikan alokasi anggaran buat Dishub di atas tiga persen,” jelasnya.

Di samping itu, belum adanya persamaan persepsi terkait kewenangan pengelolaan perlintasan sebidang yang menyangkut pelaksana pembangunan, pembiayaan dan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana lapangan dan pengelola.

Djoko menyebutkan sudah pernah ada Nota Kesepahaman Nomor PJ4 Tahun 2013 dan Nomor 551.6/4054/SJ per 1 Agustus 2013 antara Kemendagri dan Kemenhub tentang Pengelolaan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan Jalan di Daerah.

Namun, perlu pembaharuan terhadap nota kesepahaman itu yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan beberapa regulasi yang relevan.

“Dengan semakin tingginya frekuensi perjalanan KA, perlintasan sebidang semakin menjadi sumber masalah. Maka, penutupan atau pengurangan perlintasan sebidang
 menjadi sangat mendesak dilakukan dan harus menjadi salah satu program nasional,” ujar Djoko.

Untuk itu, ia menyarankan pertemuan rutin asosiasi kepala daerah dan DPRD (seperti Apkasi, Apeksi, Adeksi, Adkasi) dapat menjadi forum bagi Menteri Perhubungan untuk memberikan pemahaman pada kepala daerah dan anggota DPRD tentang pentingnya keselamatan bertransportasi.

Baca juga: Terdapat 395 kecelakaan di perlintasan sebidang KA sepanjang 2018

Baca juga: Dua anak cari rezeki dengan jaga perlintasan kereta api

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019