"Tugas utama KPK adalah mencegah dan memberantas korupsi, hingga lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi yakni Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan, berfungsi secara efektif dan efisien memberantas tindak pidana korupsi," kata Petrus Selestinus, di Jakarta, Selasa.
Baca juga: KPK belum dapatkan informasi resmi usulan revisi UU
Baca juga: JK sebutkan ada kekeliruan persepsi keberhasilan penindakan korupsi
Menurut Petrus Selestinus, indikator suksesnya KPK mencegah dan memberantas korupsi adalah lahirnya budaya masyarakat, khususnya penyelenggara negara, untuk hidup dan berperilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). "Selama penyelenggara negara masih menjadikan KKN sebagai bagian dari gaya hidup dan bahkan mengidolakan korupsi sebagai gaya hidup, kata dia, maka KPK dianggap belum berhasil memberantas korupsi," katanya.
Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ini menegaskan, selama ini KPK hanya memberantas kejahatan korupsi pada bagian hilirnya saja, tetapi kejahatan nepotisme dan kolusi tidak pernah disentuh, bahkan pasal mengenai kejahatan nepotisme dan kolusi malah mati suri.
"Padahal awal mula dari kejahatan korupsi adalah adanya kolusi dan nepotisme, kemudian terjadilah apa yang disebut korupsi, yang selama ini tidak pernah tercabut dari habitatnya," katanya.
Petrus menjelaskan, KPK sering mengekspose keberhasilannya melakukan operasi tangkap tangan (OTT), tapi keberhasilan OTT itu hanya sebagian kecil dari kewenangan KPK yang sangat besar yakni berdasarkan amanah UU KPK. "OTT hanya menangkap koruptor kecil pada bagian hilirnya saja, sedangkan kejahatan korupsi besar pada bagian hulunya di balik kejahatan suap itu, tidak terdengar dilakukan oleh KPK," katanya.
Menurut dia, kerja KPK yang hanya mengejar target OTT ini membuat KPK berada pada posisi dilematis, karena memiliki kekuasaan besar sebagai lembaga penegak hukum superbody, tapi tidak berdaya dalam pelaksanaan di lapangan.
Petrus menambahkan, OTT memang tidak dikenal dalam KUHAP, yang dikenal adalah "tangkap tangan" yaitu tertangkapnya seseorang yang tengah melakukan kejahatan atau yang sesaat setelah terjadi kejahatan.
Baca juga: Wapres: Pemerintah tidak setujui semua usulan revisi UU KPK
Baca juga: Wapres JK: Revisi UU untuk mendorong KPK bekerja sesuai aturan
Di dalam UU KPK dan UU lainnya, kata dia, tidak ditemukan aturan yang mengatur mekanisme tentang OTT, karena itu OTT KPK sebagai terobosan perluasan dari pengertian "tangkap tangan" terhadap kejahatan yang sedang terjadi boleh dilakukan oleh siapa saja.
Karena itu, kata dia, semua prasangka buruk tentang kinerja KPK, harus dibuktikan melalui audit forensik guna memastikan sebab-sebab mengapa KPK dinilai gagal dalam 15 tahun pemberantasan korupsi.
Menurut dia, hasil audit forensik terhadap kinerja KPK dimaksud diharapkan menjadi bahan refleksi untuk perbaikan kinerja KPK ke depan. "Tanpa adanya perbaikan kinerja KPK, maka kejahatan korupsi tidak akan pernah berkurang. Ketika KPK menutup lubang yang satu maka akan muncul banyak lubang yang lain dimana KPK tidak memiliki cukup tangan yang kuat untuk menjangkaunya," katanya.
Petrus menjelaskan, usul revisi UU KPK dengan melahirkan kewenangan surat perintah penghentian perkara (SP3) bagi KPK justru berpotensi memperlemah KPK dalam pemberantasan korupsi. Adanya kewenangan SP3 maka akan muncul kriminalisasi terhadap sejumlah penyelenggara segera hanya untuk kepentingan menjegal lawan politik menuju suksesi.
"Lalu setelah kepentingannya tercapai, maka SP3 bisa dikeluarkan dengan alasan penyidikan sudah berlangsung satu tahun tetapi belum selesai, jadi dihentikan dengan SP3. Jadi, SP3 tidak perlu ada karena KPK sudah punya wewenang mengalihkan proses penuntutan perkara menjadi gugatan perdata manakala tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata keuangan negara dirugikan," katanya.
Baca juga: Civitas LIPI tolak Revisi UU KPK dan desak Presiden bersikap serupa
Baca juga: Jokowi disarankan tak keluarkan Surat Presiden Revisi UU KPK
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019