Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta kepada pemerintah pelaksanaan restorasi gambut dievaluasi menyusul kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah di Indonesia yang terus berlanjut dan memunculkan asap yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Direktur Walhi Kalimantan Barat Anton P Wijaya di Jakarta, Rabu mengatakan, evaluasi pelaksanaan restorasi gambut harus segera dilakukan. Jika pembangunan berbagai infrastruktur pembasahan telah dilakukan namun masih ada yang terbakar maka seharusnya ada yang bertanggung jawab.
Menurut dia, Badan Restorasi Gambut harus bertanggung jawab jika masih terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) jika ternyata di sana sudah ada intervensi pembasahan.
Baca juga: Pemprov Kalbar liburkan sekolah terkait asap
Ada Sipalaga yang dapat memantau tinggi level muka air di lahan gambut dan sudah ada standar operasional prosedur (SOP) untuk segera dilakukan pembasahan dengan cepat, namun sayangnya saat ini masyarakat harus “bertempur” lagi melawan kebakaran hutan dan kabut asap.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian (Kementan) juga sama, harus bertanggungjawab, karena Karhutla ada yang terjadi di lahan konsesi baik itu di lahan hutan produksi maupun perkebunan.
Hal yang perlu diingat perusahaan juga punya kewajiban melakukan restorasi gambut untuk menekan terjadinya Karhutla.
“Malah seharusnya pemerintah mengajukan peninjauan kembali izin yang sudah diberikan pada perusahaan-perusahaan tersebut,” ujar Anton.
Baca juga: Pemkab Belitung perpanjang status siaga Karhutla
Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan mengatakan jarak pandang di Kabupaten Siak sangat cepat berubah karena konsentrasi asap Karhutla. Pimpinan daerah sudah mengeluarkan edaran untuk membuka posko-posko kesehatan, mengingat kondisi udara di Riau cepat sekali “drop” bahkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Pekanbaru sempat menyentuh level berbahaya di kisaran 300-500.
Hanya dalam dua minggu, menurut dia, puluhan ribu masyarakat di sana terpapar dan jutaan lainnya menghirup asap Karhutla yang mengandung partikel berbahaya bagi kesehatan.
Setelah dua tahun tidak ada asap kini kondisinya kembali parah, artinya pemulihan hutan dan lahan gambut gagal karena area ini yang menjadi sumber bencana asap di Riau saat ini.
Baca juga: Kabut asap Karhutla kian pekat, Gubernur Riau pilih tugas ke Thailand
Menurut dia, kejadian Karhutla kali ini memang banyak terjadi di kawasan yang lahan gambutnya rusak. Narasi pemerintah untuk membenahi tata kelola gambut sudah benar, namun fakta di lapangan itu berjalan lambat, karenanya diperlukan evaluasi.
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead saat dihubungi ANTARA mengatakan akan melakukan evaluasi dan analisis rutin guna mengetahui berapa banyak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area yang sudah direstorasi. Berdasarkan analisis dua tahun lalu yang dilakukan BRG diketahui radius satu kilometer (km) dari titik pembangunan sakat kanal dan sumur bor di lahan gambut hanya sekitar empat persen yang masih mengalami kebakaran.
Analisis akan dilakukan kembali untuk mengetahui efektivitas pembangunan infrastruktur pembasahan yang sudah dikerjakan.
Baca juga: Mendikbud minta guru di daerah berasap tetap bimbing siswa belajar
Seberapa banyak titik api di luar radius area yang ada sekat kanal dan sumur bor sekarang dibanding dua tahun lalu akan dicari tahu, dan jika jumlahnya sama berarti ada yang tidak beres dan BRG harus siap evaluasi besar-besaran.
Menurut Nazir, pertimbangan untuk segera melakukan analisis dan evaluasi sudah muncul di tahun sebelumnya.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019