Komunitas pecinta batik Yayasan Tjanting Batik Nusantara berupaya menumbuhkan kesadaran generasi muda untuk menggunakan batik Indonesia.Sekarang banyak gempuran tekstil dengan motif batik yang diimpor dari Cina, hal itu dapat merusak ekosistem batik lokal,
Bonny Widjoseno dari Yayasan Tjanting Batik mengatakan pihaknya ingin para pemuda mengenal batik dan permasalahannya dari hulu.
"Kami lebih fokus dengan permasalahan yang ada di hulu, sehingga para pemuda dapat mengenal dan mencintai batik secara utuh," kata Bonny di Jakarta, Selasa.
Dia menambahkan ada beberapa permasalahan batik yang selama ini kurang disoroti oleh masyarakat, salah satunya semakin berkurangnya jumlah pengrajin canting.
Baca juga: Drama musikal "Canting, Malam dan Mas Print" angkat permasalahan batik
Padahal canting merupakan salah satu alat penting untuk membatik.
Menurut dia semakin kurangnya pengrajin batik karena ekosisme batik yang kurang baik, apalagi harga satu canting terbilang cukup murah yaitu Rp2.500.
"Sekarang banyak gempuran tekstil dengan motif batik yang diimpor dari Cina, hal itu dapat merusak ekosistem batik lokal," ujar dia.
Oleh sebab itu dia berharap pemerintah dapat melindungi batik lokal dari serbuan tekstil tersebut.
Baca juga: Komunitas batik rayakan satu dasawarsa batik warisan tak benda UNESCO
Selain itu kesadaran masyarakat dalam menggunakan batik lokal juga diperlukan dalam memperkuat ekosistem batik tersebut.
Dia menyayangkan apabila secara industri batik sangat berkembang namun jumlah pengrajinnya tidak berkembang.
Hal lain yang menjadi salah satu masalah adalah, batik kini lebih banyak menggunakan pewarna sintetis dibandingkan pewarna alami.
Selain masalah lingkungan, menurut dia jika batik ingin diterima ditataran global maka menggunakan pewarna alami adalah salah satu jalannya.
"Saat ini tren global adalah eco-fashion, jadi selain ramah lingkungan, pewarna alami dapat meningkatkan daya saing batik di pasar global," kata dia.
Baca juga: BEKRAF sebut industri fesyen sumbang 18 persen pendapatan negara
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019