Sebelum nama Joker dikenal di seantero Gotham, ia hanyalah seorang laki-laki biasa bernama Arthur Fleck yang hidup pas-pasan berdua bersama ibunya.
Seumur hidupnya, Arthur merasa dilahirkan untuk membahagiakan dan membuat orang lain tertawa. "Happy" adalah nama panggilan dari ibunya.
Itulah mengapa Arthur ingin menjadi seorang komika tunggal yang teknik-tekniknya ia pelajari di sela pekerjaan sebagai seorang badut yang menghibur anak-anak di rumah sakit atau mempromosikan barang obral.
Baca juga: Kata Joaquin Phoenix soal kritik terhadap "Joker"
Arthur ingin membuat orang tertawa, tapi hidup malah menertawakannya. Teman kerja yang ia sangka baik rupanya berkhianat. Ibunya (yang diperankan oleh Frances Conroy), bekas pekerja Thomas Wayne alias ayah Bruce Wayne, punya rahasia masa lalu yang membuat Arthur semakin menggila.
Batinnya terguncang ketika pembawa acara yang sangat ia idolakan, Murray Franklin (Robert De Niro), justru membuatnya usaha tulusnya melucu jadi bahan olokan.
Depresi, kecewa dan marah atas hidupnya yang sengsara, serta topeng yang selama ini Arthur pakai akhirnya ditanggalkan.
Baca juga: Polisi New York perketat pengamanan di pemutaran perdana "Joker"
Arthur mulai merasa hidup ketika membunuh tiga pria yang menindasnya di kereta bawah tanah. Perubahannya menjadi seorang Joker dimulai dari sana.
Dia akhirnya menemukan jati dirinya. Ada yang menganggapnya penjahat, tapi aksi kriminal pertamanya justru menggerakkan massa anti-orang kaya di kota tersebut.
Dia yang bukan siapa-siapa lantas jadi bahan pembicaraan. Perlahan tapi pasti, seorang penjahat kejam tak waras akhirnya lahir di Gotham.
Joker di film ini berbeda dari versi cerita di mana ia tercebur ke dalam cairan kimia yang mengubah kulitnya jadi putih, rambut hijau dan bibir merah seperti badut menyeramkan.
Namun proses terciptanya seorang Joker dalam film yang mendapat apresiasi tepuk tangan selama delapan menit dalam Festival Film Venesia itu terasa lebih menyesakkan.
Arthur Fleck berubah jadi Joker karena pengalaman masa lalu yang kelam dan kemalangan bertubi-tubi, memupuk bibit gangguan mental yang sudah tertanam.
Joaquin Phoenix mengubah drastis penampilannya dalam film itu. Tubuhnya kurus kering, hanya tersisa tulang dan kulit. Beratnya dikabarkan turun sekitar 24 kg dalam waktu singkat, memengaruhi tak cuma fisik tapi juga psikis.
Kondisi tersebut membuat proses pengambilan gambar hanya bisa dilakukan sekali, tidak bisa diulang pada kemudian hari bila ada kesalahan.
Baca juga: Wartawan dilarang wawancara di karpet merah saat premier "Joker"
Penonton diajak menahan nafas ketika Arthur beraksi, menanti kegilaan apa lagi yang ia akan lakukan setelah akal sehatnya terhapus oleh pahitnya kehidupan.
Joaquin sendiri memang ingin membuat versi Joker yang berbeda dan sangat rumit. Sang aktor membaca berbagai penyakit kejiwaan yang sulit dianalisa oleh psikiater. Sisi baru Joker itu, memberi lapisan lain dari sekadar orang gila yang gemar mengganggu Batman.
Joker identik dengan tawa sinting, sebuah kerja keras yang dilakukan Joaquin agar ekspresi kegembiraan itu berubah makna. Dia belajar membuat tawa Joker dari video penderita penyakit tawa patologis yang tak bisa dikendalikan akibat penyakit saraf.
Menyempurnakan tawa itu adalah bagian terberat dalam memerankan Joker, kata Joaquin, tapi kerja kerasnya terbayar.
Meski kecil kemungkinan Joker versi Joaquin akan berjumpa dengan Batman versi Robert Pattinson, film itu sepertinya menjadi tontonan wajib pencinta DC Universe untuk mendapat pencerahan baru mengenai salah satu penjahat ternamanya.
Para penikmat film dapat menyaksikan "Joker" di bioskop Indonesia mulai 2 Oktober 2019.
Baca juga: Dua jaringan bioskop AS larang penonton "Joker" pakai topeng
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019