"Indonesia ini budaya 'latah'-nya kuat. Latah menyebarkan berita trending, menyebarkan sesuatu yang dianggap benar, membela sosok dan golongan tertentu, sehingga beritanya jadi masif," ujar Martin kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Pria yang juga memiliki 33,9 ribu pengikut dalam akun Instagram-nya itu mencontohkan kasus berita bohong soal Audrey, siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, yang mengaku menjadi korban pengeroyokan 12 siswi SMA.
"Saya mengerti, kasus itu bisa meningkatkan engagement dalam media sosial sehingga banyak influencer akhirnya menyorotnya. Tapi setelah kasus itu terbukti hoaks, mereka malah tidak minta maaf," katanya.
Baca juga: Tips menjadi pejuang antihoaks di grup WhatsApp
Padahal, permohonan maaf yang disampaikan influencer akan menjadi penanda klarifikasi bagi para pengikutnya.
Para pengikut sang influencer, lanjut Martin, akan memahami informasi yang sebelumnya tersebar itu merupakan berita bohong.
Martin mengatakan para pengikut influencer akan teredukasi dan turut berhenti menyebarkan informasi palsu.
Bagi influencer, permohonan maaf tersebut bisa jadi pengingat untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan berita dan informasi berikutnya.
"Kalau dia tidak ngaku, tidak minta maaf, kemungkinan akan gampang kirim hoaks lagi tanpa ada rasa bersalah dan malu. Setidaknya, kalau influencer mengakui dan dia minta maaf, dia ada introspeksi diri juga," kata Martin.
Baca juga: Cara klarifikasi hoaks kepada orang tua
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019