"Dampak kekeringan agak berbeda-beda. Untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan tentu yang paling terasa adalah kebakaran hutan dan lahan," kata Kasubdit Analisis Informasi Iklim BMKG Adi Ripaldi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Meski tidak dipungkiri disebabkan oleh faktor kelalaian manusia, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu akibat kemarau yang panjang pada tahun ini.
Baca juga: Curah hujan rendah, Kalimantan Utara rawan kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan, katanya, telah berlangsung sejak awal musim kemarau pada Juni, Juli dan Agustus hingga puncaknya terjadi pada September.
"Paling banyak itu," katanya. Kebakaran hutan dan lahan tersebut, kata dia, hampir masif terjadi di Wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Sementara di wilayah lain seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki lebih banyak daerah pertanian, kekeringan akibat musim kemarau telah mengancam sejumlah sentra pertanian.
"Kekeringan air untuk sawah, mungkin kekeringan di beberapa lahan sawah, juga banyak terjadi" ujarnya.
Baca juga: BNPB: 328.724 hektare hutan-lahan terbakar selama Januari--Agustus
Baca juga: 3.034 siswa di Palangka Raya terpapar kabut asap
Kemudian, katanya lebih lanjut, kebutuhan air bersih bagi masyarakat untuk Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara juga beberapa wilayah lain juga dilaporkan terganggu, termasuk di DKI Jakarta.
Untuk wilayah di DKI Jakarta seperti Rorotan dan daerah di sekitar Tanjung Priuk, Jakarta Utara, orang-orang juga sudah mulai membeli air sejak Juni untuk kebutuhan air bersih mereka.
"Karena sumur-sumur rumah tangga mereka, selain sedikit airnya, kualitasnya juga tidak bagus selama musim kemarau," katanya.
Baca juga: Legislator minta pemerintah antisipasi gagal panen akibat kekeringan
Baca juga: 130 ribu warga Gunung Kidul terdampak kekeringan
Pewarta: Katriana
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019