Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yuyun Harmono mengatakan negara-negara global serius melihat dampak perubahan iklim yang akan menghambat ekonomi.
“Tapi di sini sebaliknya. Upaya penanganan perubahan iklim masih dianggap dapat menghambat ekonomi,” katanya di Jakarta, Kamis.
Banyak negara yang, menurut dia, tidak lagi hanya menempatkan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran kemajuan sebuah bangsa. Tidak hanya angka yang dihitung, namun juga tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan.
Karenanya ia mengatakan narasi ekonomi dan investasi menjadi panglima dalam kemajuan bangsa, namun menegasikan lingkungan tidak boleh terjadi.
Kabut asap masih terjadi dan di 2019 menjadi lebih luas dibanding tiga tahun terakhir, dan sekitar 223.000 hektare (ha) terjadi di lahan gambut yang diketahui menghasilkan emisi paling besar saat terbakar.
“Padahal Presiden Jokowi juga tahu jika gambut terbakar susah sekali dipadamkan. Penegakan hukum harus tegas, sanksi administrasi tertinggi yakni pencabutan izin konsesi harus diberikan,” ujar dia.
Sementara itu dari sisi energi, Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung mengatakan negara-negara global sudah banyak yang mulai meninggalkan energi fosil untuk mengendalikan pemanasan global. Namun di Indonesia target pembatasan batu bara 400.000 ton per tahun justru naik dalam RPJM terbaru menjadi 534.000 ton.
Melihat komposisi menteri di Kabinet Indonesia Maju, Sawung mengkhawatirkan jika perubahan pemanfaatan energi beralih dari batu bara justru ke gas. Padahal jeda waktu untuk mengatasi perubahan iklim hanya tinggal beberapa tahun lagi.
Baca juga: EcoNusa dorong gerakan penyelamatan lingkungan mewabah di masyarakat
Baca juga: Menularkan cinta lingkungan hadapi perubahan iklim
Baca juga: Fiji dan Indonesia punya kepentingan sama untuk lawan perubahan iklim
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019