Menyelamatkan Julia dan Cykita

28 Oktober 2019 20:00 WIB
Menyelamatkan Julia dan Cykita
Sejumlah Bekantan (Nasalis larvatus) melahap makanan yang diberikan petugas di Stasiun Penelitian Bekantan Pulau Curiak milik Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Sabtu (26/10/2019). Satwa endemik Kalimantan itu termasuk salah satu spesies yang keberadannya terancam punah di mana berdasarkan data Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), populasi Bekantan di Kalimantan Selatan diperkirakan tersisa 2500 ekor. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.
Julia belum lama melahirkan anaknya, Cykita, ketika tim Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan menyelamatkan mereka dari kejaran penduduk setempat tiga tahun yang lalu.

Julia bersama kelompoknya dianggap sebagai hama oleh warga karena merusak lahan singkong di kawasan Sungai Kali, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sekitar 10 ton singkong dihabiskan oleh dua kawanan Bekantan, belum termasuk pisang dan berbagai jenis buah lain di kampung tersebut.

Habitat bekantan (Nasalis larvatus) yang semakin menyempit karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, memaksa hewan terancam punah itu bermigrasi dan masuk perkampungan. Konflik dengan warga pun tak terhindarkan.

Baca juga: Kubu Raya kawal WWF bangun manajemen konservasi Bekantan

"Julia trauma berat ketika itu. Dia bahkan sempat menolak anaknya, Cykita, untuk disusui," kata ketua SBI, organisasi nirlaba yang fokus pada konservasi Bekantan, Amalia Rezeki.

Ia bahkan selalu memunggungi manusia yang mendekatinya, lanjut dia. Julia dan Cykita sejak dievakuasi pada akhir 2016 hingga kini masih dalam pengawasan dokter di pusat rehabilitasi Bekantan di Banjarmasin.

Bukan hanya dikejar-kejar oleh anjing pemburu, kawanan monyet hidung panjang ini juga menjadi sasaran kemarahan warga yang memukul, meracun dan menembak mereka yang memasuki perkampungan.

Tim BKSDA dan SBI datang setelah mendapatkan laporan dari kepala desa setempat dan warga melalui media sosial. Namun, dari dua kelompok yang masuk ke kampung, hanya satu kelompok saja yang bisa dievakuasi sedang satu kelompok lagi kabur dan tidak terpantau keberadaannya.

Sekarang Cykita sudah cukup besar untuk dilepas ke alam bebas. Tinggal menunggu rekomendasi dari dokter yang merawat serta BKSDA untuk melepas Cykita dan induknya ke alam, kata Amalia.

Namun, bagi tim SBI tentu saja cerita belum berakhir di sini.
Julia dan anaknya Cykita masih dalam pengawasan tim dokter hewan di pusat rehabilitasi milik SBI di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.. (ANTARA/Bayu Pratama/sh)


Evakuasi puluhan bekantan

Sejak aktif melakukan aksi penyelamatan Bekantan pada akhir 2014, SBI sudah berhasil mengevakuasi 45 ekor satwa dilindungi ini di Kalimantan Selatan. Beberapa diantaranya diserahkan oleh warga yang menemukan Bekantan yang terpisah dari kelompoknya.

Ada Ben, Lestari, Lucky Boy, hingga Titi, bekantan-bekantan yang diselamatkan dan dilepas ke area konservasi.

"SBI baru mulai melakukan upaya evakuasi setelah ada izin dari pemerintah daerah. Sebelum resmi berdiri pada 2013, sejak 2010 SBI lebih banyak melakukan sosialisasi dan edukasi untuk konservasi Bekantan," kata Amalia.

Baca juga: Asap Karhutla - SBI Kalsel bentuk satgas darurat iklim untuk bekantan

Kesadaran masyarakat untuk menyerahkan atau melaporkan temuan Bekantan ke SBI dan BKSDA, dinilainya merupakan salah satu keberhasilan edukasi kepada masyarakat.

Tahun ini, satu-satunya organisasi yang bergerak di bidang konservasi Bekantan ini lebih fokus pada upaya mengatasi perdagangan ilegal.

Jika dulu perdagangan dilakukan secara terbuka di pinggir jalan, sekarang transaksi dilakukan secara tertutup berdasar pesanan. "Setelah ada edukasi mengenai perlindungan Bekantan, bahwa perdagangan satwa ini bisa dikenai sanksi hukum, mereka justru beroperasi secara tertutup," lanjut dia.

Selain itu, cuaca ekstrem yang melanda wilayah Kalimantan Selatan beberapa pekan terakhir juga membuat pihak SBI melakukan langkah penyelamatan.

Wakil Ketua SBI Zainal Abidin atau akrab disapa Abiza mengatakan, sejak dua pekan terakhir pihaknya memberikan pakan tambahan untuk satwa dilindungi itu berupa pisang mentah.

"Kami menyediakan pakan tambahan karena pohon mangrove rambai yang menjadi makanan favorit Bekantan meranggas," kata Abiza.

Pemberian makanan tambahan itu dimaksudkan agar Bekantan tidak bermigrasi, apalagi hingga masuk perkampungan dan menimbulkan konflik dengan warga.

SBI juga menyediakan bak minum karena cuaca kering ekstrem menyebabkan kadar keasinan sungai terlalu tinggi.

Sedangkan terkait dampak kebakaran hutan, sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan mengenai temuan Bekantan yang sakit atau mati akibat kebakaran lahan dan hutan yang juga melanda beberapa wilayah di Kalsel.

Ironi sang maskot

Sejak 1990 Bekantan yang juga dikenal dengan sebutan monyet Belanda ini dinyatakan sebagai maskot Kalimantan Selatan. Ironisnya, ketika Amalia dan timnya melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai konservasi satwa tersebut, banyak warga yang belum tahu bahwa Bekantan adalah maskot Kalimantan Selatan.

Upaya untuk mengedukasi warga ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah yang kemudian membuat patung Bekantan di pusat kota, dekat Menara Pandang Banjarmasin yang menjadi salah satu pusat aktivitas warga dan wisatawan.

"Ini juga salah satu bentuk edukasi. Jangan sampai nanti Bekantan hanya tersisa patungnya saja," kata Amalia.

Konservasi Bekantan, menurut penerima ASEAN Youth Eco-champions Award (AYECA) 2019 ini mendesak dilakukan.

Di Kalimantan Selatan, ada 11 kawasan konservasi Bekantan, di antaranya yang paling dekat di Pulau Bakut, Pulau Kaget, dan Kuala Lupak, Kabupaten Barito Kuala.

Baca juga: Perempuan hebat penyelamat Bekantan itu bernama Amalia

Populasi di Pulau Bakut -delta di tengah Sungai Barito seluas 15,58 hektar- diperkirakan mencapai 60 ekor yang terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri atas 10-15 ekor Bekantan.

Bekantan termasuk satu dari 25 spesies yang ditetapkan Pemerintah sebagai satwa dilindungi dan harus ditingkatkan populasinya. Dalam tempo kurang dari lima tahun, populasinya harus bisa meningkat minimal dua persen.

Lembaga konservasi dunia IUCN memasukkan Bekantan ke dalam daftar merah satwa terancam punah. Satwa ini juga masuk dalam Appendix 1 CITES, yang artinya dilarang diperdagangkan.

Kelestarian si monyet Belanda semakin terancam oleh makin maraknya alih fungsi lahan serta kebakaran hutan yang menjadikan habitatnya semakin menyempit. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perburuan serta perdagangan satwa liar.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1987, jumlah populasi bekantan di Pulau Kalimantan masih cukup banyak mencapai 250 ribu ekor, dan 25 ribu ekor berada di kawasan konservasi.

Kemudian populasinya menyusut drastis pada tahun 1995, hanya berjumlah sekitar 114 ribu ekor, dan hanya tersisa 7.500 ekor di kawasan konservasi.

Menurut data BKSDA Kalsel, populasi Bekantan pada 2013 tinggal sekitar 3.600 ekor saja. Jumlah ini diperkirakan terus menyusut karena perdagangan satwa liar dan kebakaran hutan.

"Di Kalimantan Selatan populasinya sekarang hanya tersisa sekitar 2.500 ekor," kata Amalia.

SBI mencatat ada kenaikan populasi bekantan sebanyak 50 persen di kawasan konservasi di bawah lindungan (BKSDA) Kalimantan Selatan, dari sekitar 400 ekor menjadi 887 ekor.

Di luar kawasan konservasi, peningkatan populasi ini sulit dilakukan.

Inilah yang menjadi salah satu alasan kuat bagi SBI untuk membangun stasiun riset pada tahun 2018 di seberang Pulau Curiak, pulau kecil seluas tiga hektar tak jauh dari Pulau Bakut.

"Niat kami untuk melindungi Bekantan di luar kawasan konservasi. Ini jadi pilot project," kata Amalia.

Pewarta: Sri Haryati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019